Oleh: Matthew Cllesia & Yuni Sari Amalia S.S., M.A., Ph.D
Restoran atau kafe menjadi tempat yang sering dikunjungi oleh masyarakat di Indonesia, mulai dari kalangan anak muda hingga orang tua. Kafe juga sebagai tempat bekerja (WFH), belajar maupun bersantai dengan suasana yang hangat, ramai dan penuh interaksi. Namun dibalik suasana penuh interaksi itu, ada kelompok masyarakat yang sering kali tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi bagian dari dunia itu, mereka yang menyandang tuna rungu dan tuna wicara sulit mengutarakan dan melakukan interaksi dengan masyarakat umum. Tuna rungu berasal dari kata "tuna" (kurang) dan "rungu" (pendengaran). Tuna rungu adalah kondisi di mana seseorang tidak mampu atau kurang mampu mendengar suara. Sebaliknya Tuna wicara adalah kondisi di mana seseorang mengalami gangguan atau ketidakmampuan dalam berbicara. Pada banyak kasus, tuna wicara terjadi sebagai akibat dari tuna rungu, karena pemerolehan bahasa sangat bergantung pada kemampuan mendengar (Nugroho, P. et al, 2021). Kedua kondisi ini sering dianggap sebagai kendala komunikasi di tempat kerja terutama di industry yang membutuhkan interaksi seperti kafe.
Sayangnya, banyak pemilik usaha masih memiliki pandangan sempit terhadap penyandang tuna rungu dan tuna wicara karna keterbatasannya untuk berinteraksi dengan sesame pekerja maupun berinteraksi dengan pembeli. Mereka khawatir jika pekerja tuli dan tuna wicara akan kesulitan menerima pesanan, berkomuikasi dengan pelanggan, atau bekerja sama dengan tim dapur dan barista. Akibatnya, pelamar kera dengan penyandang disabilitas sulit mendapatkan pekerjaan bukan karena tidak mampu melainkan dianggap tidak cocok. Padahal hal tersebut bbukannlah hambatan utama bagi mereka yang menyandang disabilitas, melainkan minimnya system komunikasi alternatif dan pelatihan bagi rekan kerja.
Masalah sebenarnya bukan pada keterbatasan penyandang tuna rungu maupun tuna wicara, melainkan terhadap pada kurangnya kesadaran dan kesiapan industry untuk beradaptasi. Data menurut jurnal (Pemberdayaan Kelompok Penyandang Disabilitas di Desa Kradenan Melalui Pelatihan Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Pertanian Sekam Padi Menjadi Briket Bioarang, 2023) menunjukkan dari lebih 17 juta penyandang disabilitas usia kerja, kurang dari 8 juta yang bekerja 15. Banyak perusahaan masih memprioritaskan pekerja tanpa disabilitas, dan proses rekrutmen seringkali tidak ramah disabilitas 28. Seharusnya dengan menyediakan pelatihan Bahasa isyarat dasar bagi pekerja, papan menu visual yang jelas, atau system pesanan digital bebasis teks dan poster tata cara pemesanan menggunakan visual Bahasa isyarat banyak kafe bisa menjadi inklusif. Jika berbicara tentang akomodasi, hal ini bukanlah sesuatu yang mahal dan tidak mengganggu produktivitas, bahkan lebih eningkatkan semangat kerja tim dan citra positif perusahaan.
Membuka kesempatan bekerja bagi peyandang disabilitas tuna rungu dan tuna wicara bukan hanya sekedar Tindakan sosial, melainkan juga menjadi strategi bisnis yang cerdas dan positif. Konsumen masa kini bisa juga semakin menghargai tempat usaha yang inklusif dan berempati. Banyak pelanggan justru dating Kembali untuk merasakan pengalaman berharga karena bisa belajar tentang dasar dari Bahasa isyarat yang telah diberikan oleh kafe yang mempekerjakan penyandang disabilitas tuna rungu dan tuna wicara. Mereka juga merasa terinspirasi oleh semangat pekerja dengan memiliki kemampuan yang berbeda, tetapi memiliki dedikasi yang sama. Â
Di tengah perkembangan sosial dan kesadaran akan pentingnya inklusi, keberadaan kafe dan restoran yang memberdayakan penyandang disabilitas menjadi sebuah bukti nyata perubahan positif dalam masyarakat Indonesia. Tidak sekadar membuka peluang kerja, langkah mempekerjakan tuna rungu dan tuna wicara di dunia kuliner ini membawa pesan kuat tentang penghargaan terhadap keberagaman dan kemampuan unik yang dimiliki setiap individu. Kafe-kafe ini bukan hanya tempat untuk menikmati makanan dan minuman, melainkan juga ruang di mana nilai-nilai kesetaraan, empati, dan pemberdayaan terpancar nyata. Inisiatif ini menjadi inspirasi bagi banyak pihak, menunjukkan bahwa keterbatasan fisik bukanlah hambatan untuk berkarya dan berkontribusi secara maksimal di masyarakat. Melalui tulisan ini, mari kita telusuri beberapa Kafe di Indonesia yang menjalankan konsep inklusif ini dengan bangga dan memberikan harapan baru bagi penyandang disabilitas.
Berdasarkan survei nasional (Indonesian Family Life Survey, 2022), prevalensi gangguan pendengaran yang dilaporkan sendiri adalah 7,8 per 1.000 orang (sekitar 0,78%) pada populasi usia produktif (15–64 tahun). Ini berarti lebih dari 1,5 juta orang diperkirakan mengalami disabilitas tuna rungu dan tuna wicara, baik yang mengalami gangguan pendengaran sebagian maupun total. Data ini menjadi bukti bahwa ada banyak penyandang disabilitas di Indonesia, kebutuhan akan inklusi sosial, pendidikan bahasa isyarat, dan akses kerja menjadi sangat penting untuk mendukung kehidupan dan pemberdayaan penyandang tuna rungu dan tuna wicara di Indonesia.
Kenyataannya, banyak pekerja tuna rungu dan tuna wicara justru menunjuan peforma kerja yang sangat baik di kafe. Kafe yang paing sering mempekerjakan penyandang disabilitas tuna rungu dan tuna wicara biasanya berada di luar negeri. Namun seiring berjalannya waktu dan sikap empati manusia, kini di Indonesia memiliki beberapa kafe yang mempekerjakan penyandang disabilitas tuna rungu dan tuna wicara, seperti Dignityku, erCe Café, Sunyi Coffee, dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa denggan sedikit penyesuaian komunikasi dan interaksi bisa berjalan lancer tanpa suara. Di tempat-tempat ini, pesanan diambil melalui papan tulis, aplikasi digital, poster tata cara pemesanan menggunakan Gerakan visual Bahasa isyarat dasar yang dapat membantu jalannya interaksi dengan pekerja dan pelanggan. Para pelanggan juga bisa belajar melalui hal tersebut, mereka pun juga merasa hal tersebut sangat unik, mendidik, dan bisa menambah wawasan baru.
1) Dignityku
2) eRCe Cafe
Tampak Depan eRCe Cafe (Sumber: Google Review Ardhy Yuliawan)Â

Kafe yang berasal dari Kota Solo ini banyak mempekerjakan teman tuna rungu dan penyandang disabilitas fisik. Mereka dilatih untuk mempunyai sifat cekatan dalam bekerja seperti membuat minuman dengan takaran yang pas dan tersedia papan petunjuk untuk pembeli yang ingin memesan minuman dengan Bahasa isyarat. Berlokasi di Kerten, Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah