Akhirnya kami tiba di Masjid yang sudah ada sejak tahun 1747 yaitu Masjid Hidayatullah.
Tampilan Masjid ini bernuasa Hindu, Tionghoa dan Betawi. Hal ini bisa kita lihat pada atap arsitekturnya gaya Tionghoa mirip Klenteng.
Kemudian pada kusen pintu dan jendela yang mirip pada rumah adat Betawi pada umumnya.
Menariknya terdapat menara kembar yang mirip dengan arsitektur India dan Hindu yang mempunyai pesan yaitu dua kalimat Syahadat.
Lalu ada 3 atas yang bersusun 3 memiliki arti Wirtun yaitu tidak ada sempurna selain Allah SWT.
Kemudian ada 4 anak tangga pada nimbar melambangkan kerukunan para sahabat nabi. Ada 8 tiang penyangga masjid yang melambangkan 5 rukun Islam dan 3 sendi utama Islam.
Di komplek Masjid Hidayatullah terdapat makam para pendiri beserta keluarga dengan tanaman langka yang tumbuh seperti pohon kurma, malaka dan nangka.
Dan menariknya di makam ini tidak ditemukan makan orang yang telah mewakafkan tanahnya untuk dijadikan Masjid Hidayatullah
Alasannya tidak mau dimakamkan di komplek pemakaman Masjid Hidayatullah karena tidak ingin orang jadi musyrik
Nama orang itu adalah Muhammad Yusuf seorang pengawal orang Belanda yang bernama Safir Hand.
Di Masjid Hidyatullah kami cukup lama karena menjadi pemberhentian terakhir, banyak teman teman peserta yang melakukan salat dzuhur dan beristirahat sejenak untuk meluruskan kaki setelah berjalan sekitar 3 kiloan.