Ada yang tercecer di lorong-lorong kekuasaan yang lembab. Bukan dokumen penting yang hilang, bukan pula arsip negara yang terselip. Yang tercecer adalah nurani. Ia terinjak-injak sepatu kulit berkilat, terinjak-injak oleh langkah-lapuk para perampok berdasi yang kita sebut, dalam kegeraman yang terpendam, sebagai tikus-tikus kantor.
Mereka bukan tikus biasa. Mereka adalah perajut jerat yang paling piawai. Jerat-jerat mereka tidak dari tali, tetapi dari pasal-pasal yang dipelintir, dari peraturan yang dibengkokkan, dari anggaran yang digelembungkan. Jerat itu mereka anyam dalam gelapnya ruang rapat, dalam gemerisik suap yang dibisikkan, dalam senyum palsu yang menutupi niat jarum suntik yang menyedot darah dana rakyat.
Dan kita, rakyat, terjerat di dalamnya.
Kita terjerat dalam jerat kemiskinan yang mereka tenun. Setiap lembar uang yang mereka kantongi adalah seutas benang yang melingkari leher harapan. Setiap proyek fiktif yang mereka setujui adalah sebuah simpul mati yang mencekik pendidikan anak-anak di ujung negeri, yang membiarkan puskesmas merana tanpa obat, yang membiarkan jalan-jalan desa berlubang seperti koyakan pada kain kebangsaan.
Kita terjerat dalam jerat ketidakpercayaan. Jerat ini yang paling beracun. Ia menyusup ke dalam sumur rasa percaya kita, meracuninya pelan-pelan. Kita mulai sangsi pada setiap kebijakan, pada setiap janji, pada setiap wajah yang tersenyum di balik mimbar. Jerat ini mengikis keyakinan kita bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan, bahwa integritas bukan hanya pajangan di dinding kantor.
Kita terjerat dalam jerat keputusasaan. Jerat ini terbuat dari bayangan panjang ketidakadilan. Ia membisikkan bahwa melawan adalah sia-sia, bahwa "tikus akan selalu menang karena mereka menguasai lumbung." Jerat ini membuat kita diam, menerima, dan pasrah, membiarkan penyakit itu menggerogoti tubuh bangsa sampai hanya menyisakan keropeng.
Namun, di balik setiap jerat, selalu ada celah.
Cahaya itu datang dari kegigihan KPK yang bagai penerang di gelapnya labirin, mengusir tikus-tikus yang bersembunyi di celah-celah.
Cahaya itu datang dari jurnalis yang dengan pena dan kameranya membongkar anyaman jerat yang paling rumit sekalipun.
Cahaya itu datang dari kita. Dari mata kita yang tidak lagi mau ditutupi, dari suara kita yang tidak lagi mau dibungkam, dari suara kita yang bersatu menyanyikan lagu perlawanan.
Perlawanan itu bukan dengan kekerasan. Perlawanan itu dengan kesadaran. Dengan memilih pemimpin yang bersih bukan yang berkilau. Dengan mengawasi setiap kebijakan, menuntut transparansi. Dengan tidak lagi diam melihat ketidakadilan.
Jerat mereka kuat, tapi benang kita lebih banyak. Kita adalah benang-benang yang, jika disatukan, dapat menjadi tali yang sangat kuat. Tali yang tidak untuk menjerat, tetapi untuk membongkar, untuk mengikat tangan-tangan usil yang merampok masa depan anak negeri, dan untuk menarik bangsa ini keluar dari lubang kelam korupsi.