Berbicara masalah pendidikan di Indonesia seolah mendeskripsikan sangkar burung. Manajemen pendidikan yang sangat kompleks menghadirkan sebuah dilema bagi pendidik di negeri yang kaya dengan sumber daya alam. Salah satu kendala terbesar yang sering muncul di kalangan pendidik adalah rumitnya manajemen pengajaran yang lebih mengedepankan dokumentasi daripada kualitas pengajaran.
Kendala ini tidak hanya dialami oleh pendidik di satu tempat, tapi hampir mayoritas pendidik di negeri ini merasakan dan mengalami hal yang sama. Sistem sertifikasi yang mengharuskan guru melampirkan sertifikat sebagai serangkaian syarat juga seolah menggambarkan arah pendidikan kita.Â
Bukan rahasia umum lagi jika pendidikan di Indonesia seolah berjalan ditempat, jika tak ingin dikatakan berjalan mundur. Saat pendidikan di dunia maju fokus pada kualitas pengembangan guru, di Indonesia para guru malah semakin bingung dengan ribetnya manajemen yang terus mengarah ke bukti-bukti kemahiran yang diwakili oleh berbagai sertifikat.Â
Harus diakui di negeri ini nilai sebuah ijazah atau sertifikat lebih besar daripada nilai ilmu yang diperoleh. Berbeda jauh dengan negara-negara maju yang lebih mengedepankan keilmuan seseorang dari pengalaman yang didapat baca disini.Â
Sebagai contoh sederhana, di Amerika seseorang tanpa ijazah setidaknya masih bisa mengajar di sekolah swasta asalkan memiliki pengalaman mengajar sebelumnya atau pernah mengambil pelatihan pengajaran.Â
Hal yang sama mungkin sulit terjadi di tempat kita. Walau pada prakteknya sebagian "orang" bisa mengajar di sekolah tanpa ada ijazah, namun ini hanya berlaku bagi mereka yang memiliki "koneksi" dengan pemegang jabatan di area setempat tanpa harus punya ilmu atau pengalaman. Umumnya sistem seperti ini memakai "pintu belakang"Â
Kebijakan dalam dunia pendidikan di Indonesia "hanya" melibatkan orang-orang yang pada umumnya dianggap "berkompeten" dalam membuat kebijakan. Namun hasilnya kebijakan hanya "berpihak" pada kepentingan pemangku jabatan. Sementara para pendidik dan orangtua murid yang merasakan langsung di lapangan tidak punya andil untuk masuk dalam perumusan kebijakan.
Carut marut dunia pendidikan di negeri ini seakan tak ada habisnya. Dari kurikulum yang telah berubah sejak tahun 90-an sampai saat ini, berbagai macam kendala terus muncul.Â
Kalau dulu guru tidak perlu pusing dengan dokumentasi ini dan itu, sementara siswa diarahkan mencatat buku sebanyak mungkin. Sekarang guru dihadapkan pada proses dokumentasi ini dan itu sementara siswa tak perlu ambil pusing untuk mencatat karena stok buku tersedia. Perbedaannya hanya sedikit, dulu guru tidak ada beban sementara siswa terbebankan, sekarang sebaliknya.Â
Dengan adanya kebijakan sekolah full-time rasanya baik guru maupun siswa berada di posisi sebagai "kelinci percobaan". Meminjam istilah penelitian, pendidikan kita seolah melakukan "trial & error". Kurikulum berubah tanpa arah dan target yang jelas. Jika sebuah penelitian melalukan ujicoba untuk melihat hasil yang akurat, maka pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini "mungkin" sedang membuat berbagai hipotesa yang tak berdarah.Â
Hari ini kita berada diposisi dimana para guru merasa kewalahan mengurus dokumen ketimbang kewalahan menghadapi siswa. Berbagai pelatihan guru dari Sabang sampai Marauke terus dilakukan, tapi arah pendidikan tidak jelas kemana. Di satu sisi Indonesia ingin bersaing dengan negara tetangga, disisi lain pendidik harus "patuh" dengan kebijakan yang ada. Walaupun jika ditanya jujur, para pendidik rela untuk terpaksa hanyut dalam pusaran sistem yang tak ada ujungnya.Â