Mohon tunggu...
ABDUL HALIM FATHANI
ABDUL HALIM FATHANI Mohon Tunggu... -

Pengamat Pendidikan. Menempuh pendidikan program sarjana di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, pada program studi Matematika (lulus 2006). Kemudian melanjutkan studi Program Magister Universitas Negeri Malang, pada program studi Pendidikan Matematika (lulus 2011). Aktivitas sehari-hari yang ditekuni -di samping mengajar- adalah membuat tulisan yang kemudian dikirimkan ke pelbagai media massa/media online maupun yang diterbitkan dalam bentuk buku. Saat ini juga aktif menjadi Editor Buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolahnya Para Binatang

3 Februari 2015   22:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selama belajar di kelas XII (dua belas), ia merasa ada tekanan, baik dari pihak sekolah maupun orang tua. Intinya, semuanya menginginkan agar seluruh perhatiannya difokuskan untuk persiapan menghadapi ujian nasional. Tidak heran, jika sehari-harinya, yang dikerjakan pastinya seputar persiapan ujian nasional, ia terus dan terus membawa buku kumpulan soal-soal bidang studi yang diujikan dalam UN. Sesekali mengikuti try out ujian nasional.

Walhasil, setelah semua proses persiapan dilalui, UN pun dilaksanakan, dan suatu “keberuntungan” pada saat pengumuman kelulusan ujian nasional, semua siswa dalam sekolah tersebut semuanya dinyatakan LULUS. Spontan, kepala sekolah, para guru, dan siswa sujud syukur, Alhamdulillah.

Meskipun dinyatakan lulus, anak yang awalnya menyenangi dunia melukis dan kaligrafi tersebut ketika menyodorkan hasil UN kepada orang tua, ia tidak mendapatkan reward sebagaimana teman yang lain. Tetapi, ia justru mendapat cemoohan, karena “ternyata” peringkat kelulusannya di nomor yang paling akhir, alias nomor 325 (peserta UN ada 325 siswa).

Karena penghasilan ekonomi yang tidak menentu dan berbagai hal, akhirnya anak tadi tidak bisa melanjutkan studi di perguruan tinggi. Dan, sampai sekarang “terpaksa” tetap menganggur di rumah. Karena, jika harus bekerja, maka lapangan pekerjaan yang tersedia di desanya, adalah bertani. Sementara, ia tidak memiliki bekal keterampilan akan hal tersebut. Sedangkan, keterampilan yang pada waktu dulu pernah ia tekuni, melukis dan kaligrafi, saat ini sudah “menghilang”. Karena, sudah lama tidak diasah, sehingga tidak terampil lagi. (Mungkinkah) gara-gara fokus pada persiapan UN waktu kelas XII (duabelas)? Bisa jadi, Iya.

Belajar dari kasus di atas, baik yang menimpa para binatang dan anak (adiknya teman saya) tersebut, kiranya kita perlu melakukan refleksi diri,

1. Apakah program yang selama ini dianggap baik oleh pihak sekolah sudah benar dan sesuai dengan tujuan pendidikan, yakni “memanusiakan manusia”?
2. Sudahkah sekolah menjadi tempat penggalian potensi dari kemudian mengembangkannya?
3. Benarkah kelulusan ujian nasional tersebut bisa dijadikan dasar kemampuan riil bagi siswa bersangkutan?
4. Mana yang lebih tepat, memaksa anak untuk mempelajari bidang studi yang diujikan dalam UN (meski tidak disenangi) atau mengembangkan potensi diri setiap siswa?
5. Setiap individu manusia adalah unik, tidak ada dua individu yang sama persis. Terkait hal ini, masihkah harus dipertahankan keinginan sekolah membuat anak menjadi seragam dalam hal kemampuan?


Demikian, beberapa pertanyaan, kiranya dapat dijadikan renungan terhadap selama ini yang sudah diprogramkan oleh sekolah sebagai satuan pelaksana pendidikan. Harapannya ke depan, pendidikan dapat diselenggarakan lebih manusiawi. Semoga. [ahf]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun