Era sudah berubah. Orang tak lagi selalu menunggu karya mereka terbit di majalah atau koran. Semua bisa diunggah, dijual, dan dibaca lewat layar ponsel. E-book, self-publishing, penerbit indie... dan jalan menuju "penulis terkenal" terasa lebih terbuka daripada sebelumnya.
Aku merasa ini kesempatan kedua. Atau ketiga. Atau entah keberapa.
Di kamarku yang sempit, aku duduk di depan laptop dengan semangat baru. Kunikmati suara ketikan huruf demi huruf, seperti denting paku membangun rumah impian.
Kali ini aku menulis cerita tentang seorang guru tua yang ingin jadi penyanyi terkenal... agak mirip aku, tapi kubungkus dengan tokoh dan latar berbeda.
Tiga malam berturut-turut aku menulis hingga larut. Bahkan aku membuat sampul sendiri menggunakan aplikasi gratis, meski hasilnya lebih mirip poster lomba karaoke RT daripada novel profesional.
Ketika naskah selesai, aku mengunggahnya ke platform self-publishing. Ada kolom deskripsi yang harus diisi:
"Tuliskan sinopsis singkat yang memikat pembaca."
Aku mengetik penuh percaya diri:
"Sebuah kisah inspiratif tentang mengejar mimpi di usia yang tak lagi muda. Mengajarkan bahwa kesempatan tak pernah benar-benar hilang."
Begitu klik tombol Publish, aku membayangkan notifikasi mulai bermunculan... buku diunduh, dibaca, dibagikan. Dalam imajinasiku, pembaca menulis ulasan penuh pujian, media mengundangku untuk wawancara, dan pesan masuk berdatangan dari penerbit besar.
Dua minggu berlalu.
Jumlah unduhan: 3.
Semuanya dari teman dekat yang kukirimi tautan langsung lewat chat.
Beni mengirim pesan: "Gue baca. Bagus sih... tapi agak loncat-loncat. Endingnya kenapa tiba-tiba selesai?"
Aku membalas singkat: "Itu gaya penulisan modern." Padahal aslinya... aku kehabisan ide di tengah jalan.
Aku menatap layar ponsel, melihat angka "3" itu lagi. Ternyata, meski dunia digital membuka pintu, aku tetap belum berhasil masuk.