Mohon tunggu...
Teguh S
Teguh S Mohon Tunggu... penulis (yang) lepas

sesederhana sebagaimana kau melihatnya...sebiasa saja sebagaimana kau menganggapnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencumbu Biru

28 Juli 2025   15:31 Diperbarui: 5 Agustus 2025   15:08 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto laut biru (Sumber: dok. pribadi)

Langit pagi di Yenbuba menghampar biru seperti lukisan kanvas yang baru dicat. Laut tenang, permukaannya memantulkan bayangan pohon kelapa dan perahu kayu yang bergoyang ringan. Air di sekitar dermaga bening, hingga dasar pasir putih pun terlihat dari atas.Itulah hari pertama aku bertemu Hendra. Ia datang sebagai tenaga ahli pemetaan bawah laut dari Jakarta. Tubuhnya kurus, kulitnya agak pucat, dan ekspresinya tenang tapi penuh perhitungan. Seorang rekan dari kantor konservasi memperkenalkannya padaku, "Dhika, ini Hendra. Dia akan ambil data terumbu beberapa bulan ke depan. Bisa dibantu ya?"Aku hanya mengangguk. Kami berjabat tangan singkat. Tak banyak bicara. Tapi saat kutanya, "Mau turun sekarang?" Ia menjawab cepat, "Siap. Alat sudah saya cek."Dan sejak itu, kami mulai menyelam bersama. Di awal, hubungan kami hanya profesional. Aku mengenal laut ini, ia memahami teknologinya. Tapi lambat laun, penyelaman jadi kebiasaan. Menjadi kebersamaan. Tak hanya karena pekerjaan, tapi karena kami sama-sama mencintai laut. Atau mungkin, karena hanya di laut kami bisa benar-benar merasa hidup.Kami mulai menjelajah spot-spot yang tak tercantum di peta wisata. Di balik pulau Friwen, di kedalaman Teluk Kabui, hingga ke drop-off Arborek yang menakjubkan. Kami memberi nama pada lokasi favorit kami sendiri seperti "Taman Rahasia", "Gerbang Karang", atau "Lorong Ikan" seakan kami penjelajah samudra yang menemukan dunia baru.

"Kadang aku mikir," kata Hendra suatu sore, ketika kami duduk di tepi dermaga sambil menyeruput kopi, "seandainya hidup ini bisa dijalani sambil terus menyelam. Di bawah sana, semuanya lebih jujur."

Aku mengangguk pelan. Aku tahu maksudnya. Di bawah laut, tak ada kebisingan dunia. Yang terdengar hanya gelembung napas sendiri dan suara tenang dari arus yang mengalir. Di sana, kita tak perlu bicara banyak. Tapi justru merasa saling mengerti.

Kami menjadi seperti saudara yang diikat bukan oleh darah, melainkan oleh laut. Orang-orang di sekitar mulai menyebut kami "kakak-adik laut", karena nyaris selalu terlihat berdua, bersiap menyelam di pagi hari atau berbagi hasil dokumentasi saat malam tiba.

Namun musim selalu berganti.

Setelah hampir satu tahun di Raja Ampat, Hendra mulai berubah. Ia tak lagi antusias saat kuajak menyelam. "Minggu ini aku nggak ikut ya," katanya suatu hari. "Ada yang harus dibereskan."

Awalnya kupikir hanya sibuk pekerjaan. Tapi kemudian aku melihatnya sering bersama seorang perempuan muda yang dulu datang sebagai peneliti ekosistem lamun. Mereka terlihat akrab. Dan dari situ aku tahu, Hendra mulai menambatkan hatinya di darat.

Beberapa bulan kemudian, ia memberitahuku rencana pernikahan.

"Di Depok, minggu depan. Maaf mendadak, tapi aku harus ikut keluarga dia setelah ini. Pindah kerja juga, ke kantor pusat."

Aku tersenyum, meski dalam hati ada ruang yang mendadak kosong. "Selamat ya. Nggak apa-apa. Nanti kalau ke sini lagi, kabari."

Hendra menepuk bahuku. Lalu pergi.

Setelah ia pergi, aku tetap menyelam. Tapi rasanya berbeda. Spot yang dulu kami datangi bersama kini terasa sepi. Tak ada suara tawa dari masker selam. Tak ada diskusi tentang ikan yang belum teridentifikasi. Tak ada teman berbagi kekaguman ketika tiba-tiba kawanan barakuda muncul dari balik karang.

Laut tetap memukau. Tapi ada bagian dari diriku yang mendadak mati rasa.

Aku mencoba menyibukkan diri. Membantu turis, memandu tim konservasi, memperbaiki perahu. Tapi tetap saja, setiap kali menyelam sendiri, yang kurasakan bukan kedamaian, melainkan sunyi.

Kadang aku membuka kembali video-video lama. Salah satunya diambil Hendra saat kami menyelam di "Taman Rahasia". Ia memutar kamera ke arahku, lalu menunjuk seekor ikan pari yang lewat tepat di antara kami. Suaranya tak terekam, tapi aku tahu ia pasti berteriak kegirangan saat itu. Di akhir video, ia menulis di papan bawah air "Tempat ini surga, Dhik."

Aku menutup laptop. Diam-diam, aku setuju.

Beberapa waktu kemudian, aku mulai menerima kenyataan bahwa mungkin memang hanya aku yang masih bertahan di dunia ini. Bahwa laut, seindah apapun, tak bisa mengikat orang yang hatinya sudah terpaut ke tempat lain.

Tapi aku juga mulai menyadari laut tak pernah benar-benar sendiri. Ia menunggu siapa saja yang mau datang dan mengenalnya dengan sabar. Dan aku, masih mencumbunya.

Sore ini, aku menyelam kembali di lokasi yang dulu kami sebut "Lorong Ikan". Cahaya matahari masuk dari celah-celah karang, menciptakan bayangan bergerak seperti tirai. Ikan-ikan kecil mengerumuni tubuhku. Seekor napoleon muncul dari balik karang besar, berenang pelan seperti tak ingin mengganggu.

Aku terdiam di kedalaman. Tidak mencari apa-apa. Tidak menunggu siapa-siapa.

Hanya mencumbu biru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun