Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salahkah Belajar Etika dari Bule?

21 Januari 2021   15:57 Diperbarui: 21 Januari 2021   16:00 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gegara cuitan lemes Kristen Gray saya jadi membuka memori 15 tahun lalu.

Kala itu tahun 2014-2015 saya berkesempatan mengajar di sekolah internasional. Jadilah selama dua tahun itu saya berinteraksi secara inten dengan bule-bule.

Bukan hanya murid-muridnya yang berkebangsaan asing tapi juga guru-gurunya. Mereka dari negara Filipina, Australia dan Kanada. Bagaimana kondisinya?

Secara umum saya tidak menemui benturan budaya selama bergaul dengan para WNA. Kalau mau dicari-cari, seperti dituturkan seorang Kompasianer lain, paling perbedaan pemberian salary aja. Bedanya seperti bumi dan langit. Selebihnya it's oke.

Belajar dari Bule


silabus.web.id
silabus.web.id

Berikut ini hal-hal yang mengesankan saya dari para bule.

Pertama, semangat belajar yang tinggi.

Terus terang kita harus acung jempol untuk semangat belajar mereka. Kesadaran akan pentingnya pendidikan sudah terpatri sejak kanak-kanak. 

Belajar atau pun mengerjakan tugas sudah menjadi hukum wajib. Anak-anak keturunan Jepang saya melihatnya semangat belajarnya paling tinggi.

Jumlah mata pelajaran barangkali turut berpengaruh terhadap minat belajar siswa. Mereka hanya belajar Math, Grammar, Sains, Social dan Art. Ada pilihan bagi mereka untuk belajar 'Bahasa'.

Saya kebetulan mengajar Bahasa. Tidak dipungkiri sebagian siswa berkebangsaan WNI. Ada juga yang ayahnya bule dan ibunya warga negara Indonesia. Makanya perlu diajarkan mapel dalam bahasa Indonesia.

Kedua, literasi adalah suatu keharusan.

Membaca dan menulis ditanamkan sejak masa anak-anak. Di tempat saya mengajar tiap minggu anak-anak diwajibkan membaca sejumlah buku sesuai dengan jenjang kelasnya.

Bukan sekedar membaca. Mereka diharuskan membuat semacam resensi. Jumlah halaman rangkumannya pun ditentukan. Bahkan pada tiap akhir semester setiap anak wajib menulis.

Tulisan harus disertai dengan daftar buku bacaan atau rujukan. Jumlah halaman dan banyaknya buku bacaan ditentukan sesuai dngan kelasnya pula.

Ketiga, respect yang tinggi.

Tidak ada kamus basa-basi bagi orang bule. Keterbukaan senantiasa dikedepankan. Terus terang sebagai orang Jawa saya salut. Bagi sebagian masyarakat masih terikat kepada unggah-ungguh dalam berperilaku.

Bule-bule itu membuat saya terkesan. Sekedar ingin mendengarkan musik untuk dirinya sendiri saja mereka meminta ijin. Apakah boleh menyetel musik? 

Kalau sudah ada tulisan alas kaki harap dilepas apabila masuk ke labolatorium. Pasti mereka akan dengan sukarela melepaskan sepatu sekali pun tidak ada orang lain. Apalagi bila ada tulisan dilarang merokok!

Satu lagi yang sampai saat ini masih melekat dalam ingatan saya. Ketika ada pesta makan-makan pada akhir semester. Semua siswa membawa makanan dari asal negaranya.

Pada saat mau menyantap makanan seorang murid memperingatkan saya. Bapak tidak boleh makan makanan ini. Kenapa? Bapak orang Islam, makanan ini terbuat dari daging babi.

Tidak ada salahnya kan kita belajar beretika dari bule? Tidak semua WNA jelek seperti halnya tidak semua WNI baik. Tata krama yang bersifat umum berlaku di mana-mana. WNA atau WNI bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Begitulah. 

Jkt, 210121

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun