Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salah Asuhan, Mendidik Anak dengan Kasih Sayang

26 Oktober 2020   12:29 Diperbarui: 26 Oktober 2020   12:36 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sangat bahagia. Begitulah rasanya ketika anak pertama kami lahir. Seorang anak perempuan.

Kami bersyukur baru setahun menikah sudah diberikan amanah untuk mendidik seorang anak. Kadang kami membayangkan betaa orang lain yang sudah bertahun-tahun menikah tidak kunjung diberikan momongan.

Ada cerita di balik kelahiran putri kami iji. Namanya baru anak pertama dan boleh dibilang hidup hanya berdua. Jauh dari saudata. Karena belum tahu bagaimana tanda -tanda akan segera datangnya kelahiran, kami bolak-balik sampai tiga kali ke tempat persalinan.

Begitu muncul gejala mules-mules langsung pergi ke bidan. Oleh bidan disuruh pulang lagi karena pembukaan masih jauh. Ketika mules-mulesnya semakin menjadi, kami pun segera ke klinik persalinan.

Kami pun disuruh balik kembali karena pembukaan belum cukup. Kami pun patu. Begitu mulesnya sudah tidak tertahankan kami mendatangi bidan dan tidak mau lagi disuruh pulang. 

Tepat jam 1 malam anak kami lahir. Kalau dihitung-hitung kami menunggu kelahirannya hampir 2 hari 2 malam.

Kebahagiaan kami tidak bisa diungkapn dengan kata-kata. Kami sangat menyayangi putri pertama kami ini. Saking sayangnya, namanya anak pertama, boleh dibilang kami over protektif.

Anak Perempuan Anak Bapaknya

Putri kami tumbuh dalam limpahan kasih sayang. Bahkan boleh dibilang kami sangat berlebihan dalam menyayanginya. Belakangan kami menyadari ini membawa dampak terhadap mentalitas putri kami.

Anaknya menjadi sangat bergantung kepada kami kedua orang tuanya. Kemandiriannya kurang tumbuh. Untuk memulai sesuatu harus kami dorong terlebih dahulu. 

Salah asuhan begitu kami menyebutnya. Bukan dalam artian negatif tapi terlalu berlebihan dalam melindunginya. Over protektif.

Untuk menggambarkan betapa dia sangat bergantung kepada orang tuanya, sampai tamat SMA kemana pun pergi anak kami itu harus saya antar jemput. 

Pulang kerja kelompok atau seusai kegiatan ekskul serta perlombaan saya harus siap menjemputnya. Keberaniannya untuk pergi atau pulang sendirian kurang. Jadi saya harus senantiasa stand by sebagai tukang ojek.

Ada yang unik 2 anak perempuan saya. Mereka tidak mau belajar atau mengendarai motor sebelum usia 17 tahun. Alasan mereka belum cukup umur untuk mendapatkan SIM. Bagus kan !

Anak saya yang pertama baru bisa dan mau belajar motor setelah kelas 3 SMA hampir lulus. Bahkan anak saya, perempuan juga, saat ini sudah kelas 3 SMK seperti kakaknya belum mau belajar naik motor.

Positifnya dengan anak perempuan saya, kami menjadi sangat akrab..Boleh dibilang seperti pepatah, anak perempuan adalah anak bapaknya. Kemana pun anak kami pergi selalu saya harus mengikutinya juga.

Begitulah pengalaman kami membesarkan dan mendidik anak perempuan kami. Setiap tindakan yang kita ambil tentu ada sisi positif dan negatifnya. Selalu ada hikmah tentunya.

Jkt, 261020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun