Mohon tunggu...
Masruro
Masruro Mohon Tunggu... Buruh Negara -

Pemerhati masalah publik | Ayah dari satu bidadari kecil, "Zizie" | Buruh negara di SMA N 1 Prambanan Klaten | Alumni SDN Bayem 2, SLTP N 2 Kutoarjo, MA PP. Miftahul Huda Malang, STAI Raden Rahmat Malang, dan Santri Mbeling di PPMH Kepanjen Malang | Gusdurians | Aremania | Milanisti | "Bersyukur dengan apa yang ada, bersabar dengan apa yang tiada.." | http://www.kangmasroer.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sebaik-baik Bekal untuk Jalan-jalan Bebas Pegal

7 Januari 2018   21:37 Diperbarui: 9 Januari 2018   22:23 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagu “Tangise Sarangan” yang ditembangkan oleh Mbak Saraswati itu terdengar kencang di dalam bus. Suara penyanyinya yang merdu dengan iringan musiknya yang aduhai, menjadikan lagu ini terasa sangat pas untuk menemani perjalananku bersama teman-teman menuju ke Telaga Sarangan, pertengahan Desember lalu. Kami sendiri, tanpa diberi komando, sesekali ikut menirukan suara penyanyi asal Magetan itu.

“Sarangan kang dadi saksi, nalikane jaman semono.. Ning kono, sliramu medhot janji. Ono pinggir telogo aku biso opo, kejobo ngronto ning dodo..,”begitulah penggalan lirik lagunya.

Mencermati lirik-liriknya, “Tangise Sarangan” itu sebenarnya termasuk lagu sedih. Konon, lagu ini menceritakan tentang hubungan percintaan sepasang kekasih yang harus putus di tengah jalan. Ironisnya, perjalanan cinta mereka berdua itu harus kandas di tepi Telaga Sarangan. Hmm, sangat menyedihkan ya?

Namun, isi lagu “Tangise Sarangan” itu sudah tentu berbanding terbalik dengan suasana hatiku saat itu. Ya, aku dan teman-teman ketika itu sedang merasa sangat bahagia, karena akan menjelajah destinasi wisata yang sudah masyhur akan keindahannya, yaitu Telaga Sarangan.

Telaga Sarangan merupakan salah satu objek wisata alam yang terletak di sekitar kaki gunung Lawu. Tepatnya, di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Meski secara administratif terletak di Kabupaten Magetan, namun lokasi wisata yang berada pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut ini lebih dekat dengan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Dari Tawangmangu jaraknya hanya sekitar 5 kilometer, sedangkan dari Kota Magetan jaraknya sekitar 16 kilometer.

Telaga Sarangan, salah satu objek wisata di kaki gunung Lawu (Dok. Pribadi)
Telaga Sarangan, salah satu objek wisata di kaki gunung Lawu (Dok. Pribadi)
Kami sendiri berangkat dari Prambanan, Klaten dengan mengambil rute ke arah Sarangan melalui jalan Tawangmangu. Jaraknya sebenarnya tidak begitu jauh, sekitar 105 kilometer saja. Namun, bus yang kami tumpangi membutuhkan waktu lebih dari 3 jam untuk menaklukkan jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok khas pegunungan hingga tiba di lokasi.

Menjelajah Telaga Sarangan yang Menawan

Sang Surya sudah tergelincir jauh meninggalkan waktu Dzuhur, ketika kami tiba di Telaga Sarangan. Usai membayar biaya tiket masuk, kami check in di sebuah hotel yang jaraknya sekitar 300 meter dari telaga. Sejak awal, kami memang berencana menghabiskan waktu dua hari satu malam di sana. Pasalnya, sebenarnya perjalanan ke Sarangan ini bukan untuk piknik semata, melainkan kegiatan IHT (In House Training) yang diselenggarakan oleh kantor tempat kerjaku.

Pemandangan telaga dari lantai 3 hotel tempatku menginap (Dok. Pribadi)
Pemandangan telaga dari lantai 3 hotel tempatku menginap (Dok. Pribadi)
Bagiku, perjalanan ke Sarangan ini ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”, kerja sambil jalan-jalan. Atau malah justru sebaliknya, jalan-jalan sambil kerja. Apa saja lah, yang penting bisa mengapresiasi diri di Telaga Sarangan setelah disibukkan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari yang sering kali terasa membosankan.

Lazimnya di daerah pegunungan, di kawasan wisata Telaga Sarangan ini, hawa dingin sangat terasa. Untuk mengusirnya, begitu masuk kamar hotel, aku pun segera menyeduh kopi. Sensasi hangatnya kopi saat bertemu dengan dinginnya udara pegunungan yang berkisar di angka 18 hingga 20 derajat Celcius itu terasa susah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Anggap saja, ibarat seorang jomblo yang dipertemukan dengan pujaan hatinya. Begitulah kura-kura. Eh, maksudnya begitulah kira-kira.

Telaga Sarangan yang begitu eksotis dan menawan (Dok. Pribadi)
Telaga Sarangan yang begitu eksotis dan menawan (Dok. Pribadi)
Selesai menghangatkan badan dengan segelas kopi, aku dan beberapa teman mulai melangkahkan kaki menuju ke Telaga Sarangan. Tampak pemandangan yang eksotis dan begitu menakjubkan sudah menanti di depan sana. Tiba di tepi telaga, aku pun segera lebur dalam atmosfir Telaga Sarangan yang begitu menawan. Keindahan alam di sekitarnya, ditambah lagi dengan udara dingin yang bersih dan terasa sejuk menjadi anugerah Tuhan yang sungguh tak ternilai harganya. Menjelang senja, aku baru kembali ke kamar hotel untuk bersiap-siap mengikuti kegiatan IHT.

Malam harinya, setelah IHT selesai, aku kembali tertantang untuk pergi ke tepi telaga. Pemandangan malam hari di sana ternyata juga tak kalah menarik. Bahkan, sensasinya terasa sungguh sangat berbeda. Udara yang super dingin ternyata juga tak menyurutkan langkah para wisatawan yang datang ke telaga. Entah untuk sekadar melihat keadaan Telaga Sarangan di malam hari, ataupun untuk menikmati santapan malam yang disediakan oleh warung-warung kecil di tepi telaga. Aku sendiri, memilih menyantap sate kelinci sambil menikmati keheningan malam, sebelum akhirnya kembali ke kamar hotel untuk beristirahat.

Telaga Sarangan di malam hari (Dok. Pribadi)
Telaga Sarangan di malam hari (Dok. Pribadi)
Sebaik-baik Bekal untuk Jalan-jalan Bebas Pegal

Seolah tak ada puasnya, keesokan harinya aku kembali lagi ke tepi telaga. Pagi itu, aku tidak ingin hanya sekadar duduk-duduk saja di tepi telaga, melainkan melakukan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Jika sebagian wisatawan memilih naik perahu mengelilingi telaga, aku dan beberapa teman lebih memilih untuk mengelilingi Telaga Sarangan. Ya, kami akan menjajal sensasi mengelilingi telaga yang terletak di kota mungil yang memiliki slogan “The Beauty of Java“ itu.

Sebenarnya ada banyak cara untuk mengelilingi Telaga Sarangan yang memiliki luas sekitar 30 hektar ini. Bisa dengan naik ojek, menunggang kuda yang disewakan oleh masyarakat setempat, ataupun dengan berjalan kaki. Akan tetapi, kami sendiri memilih untuk berjalan kaki, agar lebih leluasa menikmati keindahan panorama alam Telaga Sarangan di tiap sudutnya.

Telaga Sarangan dari berbagai sudut (Dok. Pribadi)
Telaga Sarangan dari berbagai sudut (Dok. Pribadi)
Lebih dari itu, berjalan kaki juga banyak sekali manfaatnya. Sebut saja; menyehatkan jantung, menurunkan kolesterol dan gula darah dalam tubuh, menurunkan berat badan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, hingga mencegah osteoporosis adalah beberapa di antara sekian banyak manfaat berjalan kaki. Bahkan jalan kaki juga dapat mengurangi stress. Terlebih berjalan kaki di tempat yang sejuk dan segar dengan pemandangan yang memanjakan mata seperti di tepi Telaga Sarangan ini, sudah pasti akan membuat mood kita meningkat drastis dari sebelumnya.

Bagi sebagian besar orang, berjalan kaki sejauh beberapa kilometer mungkin terasa melelahkan. Kaki akan terasa pegal dan njarem-njarem. Terlebih bagi orang yang jarang berjalan kaki seperti saya ini. Beruntung, sebelum berangkat ke Sarangan di hari sebelumnya, istriku memberikan satu bekal agar saat jalan-jalan di Sarangan tidak terasa pegal, yaitu Geliga Krim.

“Nanti kalau mau jalan-jalan, oleskan ini dulu di kedua kaki, Mas. Biar nggak pegal-pegal,” pesannya saat aku pamit mau berangkat ke Sarangan.

Geliga Krim, bekal dari istriku (Dok. Pribadi)
Geliga Krim, bekal dari istriku (Dok. Pribadi)
Pesan itu selalu kuingat hingga tiba di Sarangan. Sebelum jalan-jalan, aku selalu mengoleskan Geliga Krim di kedua kaki mulai telapak kaki hingga ke lutut. Dan, ternyata benar apa yang dikatakan istriku. Jalan-jalan keliling Telaga Sarangan tidak terasa pagal sama sekali. Bahkan sensasi hangatnya terasa meringankan langkah-langkah kaki ini saat berjalan.

Beberapa temanku yang mencoba mengoleskan Geliga Krim di kaki dan tangannya pun mengaku, jika Geliga Krim ini sangat membantu meredakan sakit dan nyeri pada persendian serta otot-otot akibat kelelahan karena berjalan kaki mengelilingi telaga seluas 30 hektar. Temanku yang lain juga mengatakan, bahwa Geliga Krim ini hangatnya pas, tidak terlalu panas.

“Enak, Kang. Hangatnya pas, nggak terlalu panas..,” katanya.

Aku dan teman-temanku terbebas dari pegal (Dok. Pribadi)
Aku dan teman-temanku terbebas dari pegal (Dok. Pribadi)
Aku mengiyakan, karena faktanya memang demikian. Sepulang dari Sarangan, aku pun bertanya-tanya tentang Geliga Krim ini pada istriku. Kata istriku, Geliga Krim ini dibelinya di apotek dekat rumah. Harganya Rp. 13.000,- untuk yang ukuran 60 gram. Cukup murah, tak sebanding dengan manfaatnya yang luar biasa.

“Geliga Krim ini bisa membantu meredakan nyeri punggung dan pundak loh. Bisa juga untuk nyeri pada persendian, keseleo, kram dan masalah otot lainnya,” kata istriku menjelaskan.

Sebaik-baik bekal untuk jalan-jalan bebas pegal (Dok. Pribadi)
Sebaik-baik bekal untuk jalan-jalan bebas pegal (Dok. Pribadi)
Mendengar penjelasan istriku, aku mengangguk-angguk tanda setuju. Sejak saat itu hingga kini, aku pun selalu menjadikan Geliga Krim ini sebagai bekal perjalanan ke mana saja. Bagiku, selain sangat efektif mengatasi masalah pegal-pegal, Geliga Krim juga mudah digunakan, tidak lengket, dan tidak menimbulkan noda pada pakaian. Dalam hati, aku membatin, “Rupanya, Geliga Krim inilah sebaik-baik bekal untuk jalan-jalan biar bebas pegal..”

***

Facebook: Kang Masroer

Twitter: @kangmasroer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun