Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Kambing Guling

3 Februari 2016   17:30 Diperbarui: 3 Februari 2016   18:02 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini serial kambing lagi. Tidak sanggup menyaingi serial pikir, posting serial kambing, jadilah. Kalaulah kemudian ini, seperti kelanjutan dari cerita mengenai kambing congek, bisa jadi demikian. Kalau kemudian tidak terdapat garis merahnya, apalagi jauh dari lucu, namanya juga usaha. Walaupun memang sangat jauh perbandingannya antara kambing congek dengan kambing guling. Tentu saja kalau disuruh memilih, siapapun akan memilih kambing guling. Yah, mudah mudahan begitu adanya.

Masih kelanjutan dari bersekolah di SD, tidak memakai sepatu. Dari tiga sekolah pada komplek tersebut sekolahku memang siswanya rada-rada bengal, kalau tidak boleh dibilang nakal, atau paling tidak teman-teman di kelas suka ribut, apalagi kalau gurunya terlambat masuk kelas. Di dalam kelas pun, pada deretan paling belakang sering berisik pada saat guru menerangkan, tentu pada guru-guru yang realtif tidak ditakuti. Berbeda dengan dua sekolah lain di komplek itu.

Murid-murid di ke dua sekolah tersebut patuh-patuh, bukan saja seragamnya rapi-rapi, dan pastinya mereka bersekolah memakai sepatu. Berbeda dengan SD tempatk sekolahku. Sudahlah trekenal paling ribut, juga boleh tidak seragam, dan tentunya boleh tidak memakai sepatu.

Suatu hari tibalah giliran upacara hari senin, yang biasanya dilakukan di lapangan upacara besar di tengah komplek dan dihadiri oleh seluruh murid dari tiga sekolah. Petugas upacaranya dilaksanakan secara gabungan, namun posisi pelaksananya bergantian dari masing-masing sekolah. Hari itu, bukan saja tiba giliran Bapak Kepala Sekolah SDku, yang menjadi Inspektur upacara, tetapi juga aku yang mendapat giliran sebagai pelaksana upacara, tepatnya sebagai petugas penjemput Inspketur Upacara. Dapat dibayangkan, bagaimana galaunya hati ini. Mau memakai sepatu malu, kalau kena bully. tidak memakai sepatu, malu kalau dimarahi Bapak Kepala Sekolah. Apaboleh buat, aku nekat tidak memakai sepatu pada hari bertugas sebagai pelaksana upacara itu.

Memang Bapak Kepala sekolah tidak menunjukkan kemarahannya pada saat upacara berlangsung, barangkalai karena memang sudah menjadi kebijakan SDku, bahwa dari ke tiga SD di komplek itu, SDku masih memberikan kelonggaran, bukan hanya sepatu, bahkan seragam. Namun karena petugas pelaksana upacara dari SD lain memakai sepatu, sementara aku sendiri yang tidak memakai sepatu, sepertinya ada suara-suara sumbang yang terdengar setelah pelaksanaan upacara itu.

Aku tidak ingat persisnya, apakah aku dipanggil atau tidak, oleh Bapak sekolah pada waktu itu, namun memang rasanya SDku seolah lalu menjadi sorotan oleh murid-murid atau bahkan guru-guru dari SD lain di komplek itu. Namun yang jelas kuingat tidak ada panggilan khusus untukku, apakah itu sekedar nasehat, bagaimana sebaiknya, kalau besok lagi jika bersekolah memakai sepatu, apalagi sampai dimarahi, karena membuat malu sekolah. Padahal seingatku, bukan saja murid-murid di SD, ada kesan bahwa guru-guruku pun takut dengan Bapak Kepala sekolah. Tapi mengapa aku tidak dimarahi atau sekedar dipanggil untuk dinasehati. Sepertinya memang ada yang aneh pada peristiwa itu, tetapi aku tidak tahu apa yang aneh itu.

Suatu hari Bapak Guru yang ditakuti, memberikan kewajiban kepada beberapa teman-teman bengalku, untuk masuk sekolah pada sore hari, sebagai tambahan belajar, karena berdasarkan hasil ulangan harian, nilai mereka dinilai kurang. Padahal kami waktu itu sedang duduk di kelas enam, yang tentu saja akan menjalani ujian akhir.

Yang kuingat, aku ikut masuk pada pelajaran tambahan pada sore hari, walaupun namaku tidak disebut sebagai murid yang wajib mengikuti pelajaran tambahan sore hari. Bapak Guru yang ditakuti itu, tampak happy saja seingatku, ketika aku ikut pelajaran sore hari itu. Tentu saja setiap ada test hasil pelajaran tambahan sore hari, nilaiku selalu tinggi dibandingkan dengan teman-teman yang lain hehe.

Namun yang kuingat, tiba-tiba ada tetangga yang berasal dari luar kota, sedang kuliah di Jogja, beli TV. Barangkali, baru di tempat mas-mas dan mbak-mbak itulah rumah yang punya TV. Atau karena mereka merupakan pendatang yang ingin berteman dengan banyak orang, kami boleh nonton TV sepuasnya di rumah itu, bahkan sampai pada malam hari. Ramai-ramai lagi. Apalagi kalau di malam hari biasanya ada film, yang kalau mau nonton tentu harus ke bioskop.

Suatu hal yang rasanya sangat mewah pada tahun-tahun itu. Jadi walaupun tadinya aku sering mengikuti tambahan belajar pada sore hari, namun menjelang hari-hari ujian, aku justru lebih sering nonton TV di rumah tetangga. Yang masih kuingat, Bapak sangat marah melihat kelakuanku saat itu. Malam itu, Bapak datang mencariku sambil berteriak Joko, ketika aku melihat ke belakang, kulihat mata Bapak melotot, sambil bersuara keras:"Mulih!".

Seingatku, aku digelandang pulang sambil dijewer telingaku sepanjang jalan, walaupn hanya dua rumah yang kulewati dari rumah tetangg sampai rumahku. Tapi bukan saja sakit, tapi yang kuingat, adalah kemarahan Bapak kepadaku. Besok kamu ujian, hayo belajar! Memang pada setelah ujian selesai aku tidak begitu yakin apakah hasil ujianku mempunyai nilai-nilai yang tinggi, seperti halnya sewaktu ulangan-ulangan harian atau pun nilai-nilai rapotku. Hari itu yang kuingat memang ada semacam pesta di sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun