Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguak Pembelaan terhadap Tuhan dalam "Tuhan Tidak Perlu Dibela"

8 September 2019   06:36 Diperbarui: 12 September 2019   13:37 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bagian dalam

Banyak yang berpendapat bahwa dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela berarti seseorang telah abai terhadap serangan terhadap ajaran Tuhan. Benarkah begitu? 

Pada bagian akhir tulisannya, Gus Dur menyebut bahwa Tuhan tak perlu dibela meski tak menolak untuk dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan atas-Nya, akan bisa dilihat pada masa mendatang. 

Kalimat itu dapat saja dijadikan petunjuk mengenai benar atau tidaknya pendapat yang menyatakan bahwa pembelaan atas ajaran Tuhan tak perlu dilakukan. Tak hanya terpaku pada sekerat kalimat berbunyi "Tuhan tak perlu dibela" yang sering dimaknai secara sepotong-sepotong.

Gus Dur secara tersurat memberikan perbandingan tentang pendapat yang muncul dari seorang ahli fiqih yang adalah paman si sarjana X sendiri dengan pendapat kiai tarekat yang menyembuhkan gundah si sarjana. 

Sang paman digambarkan sebagai seorang dengan keilmuan yang mumpuni dengan ditandai pengakuan ulama lain atas keputusannya. Sehingga jawaban terhadap pertanyaan kemenakannya atas apa yang disebutnya sebagai kemarahan bukanlah jawaban yang mengada-ada.

Dia yang menyebut tindakan umat Islam itu sebagai amar ma'ruf nahi munkar tentu telah melalui penelaahan yang dalam. 

Lalu mengenai jawaban kiai tarekat bahwa wujud dan kekuasaan Allah sama sekali tak berpengaruhi oleh semua tindakan manusia terhadap-Nya. Hal yang sangat logis dari hubungan khaliq dan makhluk dimana makhluk sama sekali tak dapat mendatangkan manfaat kepada sang Maha Esa karena justru sebaliknya, makhluklah yang dengan segala keterbatasannya memerlukan sang khaliq. 

Sikap diam menterjemahkan keyakinan bahwa Tuhan tak memerlukan makhluk untuk apa pun. Andaikata pun makhuk bertindak atas nama Tuhan dalam membela agama-Nya di muka bumi, itu pun karena Tuhan yang menggerakkan hatinya. Dan karena itulah, hendaknya manusia memikirkan bagaimana cara agar agama 'tak teraniaya' atas pembelaannya itu. 

"Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu 'dilayani'. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang "positif konstruktif". Kalau  gawat cukup dengan jawaban yang mendudukan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja." 

Tak jarang, ulama fiqih dan tasawuf memang memiliki perbedaan. Misal dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Ulama fiqih mana yang mengatakan menari dapat membantu manusia dalam mengingat Tuhan? Namun hal itulah yang dilakukan Rumi.

Begitulah Gus Dur menerangkan tentang pembelaan di penghujung artikelnya. Dengan kata lain, belalah agama dengan cara konstruktip dan komprehensip sehingga tak menimbulkan kesan bahwa membela agama harus dengan laku yang keras terhadap para pelanggarnya. Bisa jadi bahasa hati justru akan lebih menyentuh dan memberikan perbaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun