Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jenuh Karena Beban Kerja Sama dengan Tak Bersyukur(?)

27 Juni 2019   20:40 Diperbarui: 2 Juli 2019   19:44 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petang itu, seperti biasa, Badrun kirim pesan lewat whatsapp ke istrinya. "Aku lembur ma, thole sama genduk dah makan?"

Meski istrinya sudah berkali-kali ditinggalnya lembur, dia masih merasa perlu memberi kabar kalau akan pulang telat. Supaya nggak bertanya-tanya saja.

Pria 36,5 tahun itu adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan yang tengah berkembang pesat. Bergerak di bidang telekomunikasi, kantornya untuk ke sekian kali mendapat proyek yang berskala besar. Sebagai konsekuensinya, para karyawan terutama yang bergerak di lapangan harus berjibaku berlomba dengan waktu untuk menjaga ritme pekerjaan agar on schedule sebagaimana yang ditargetkan klien.

Tak pelak, hal itu merembet pula ke departemen tempat Badrun bernaung. Meski berada di belakang meja, dia yang 7 tahun lalu masih bekerja selayaknya rekan-rekannya yang kini masih berkutat di lapangan itu, harus pula menikmati segala rush hour dan beban kerja yang ada.

Ada kalanya semua itu berjalan seperti biasa, cukup dinikmatinya saja. Namun apa daya, kadang dia merasa seperti berdiri di tengah-tengah ramainya gerbong KRL yang dia sendiri enggan memasuki. Pengap, sesak dan ingin segera keluar menikmati udara bebas.

"Tentu bukan hal yang mudah untuk mereduksi kejenuhan di tengah penyanderaan yang dilakukan oleh statusnya yang bisa dibilang sebagai comfort zone. Kemungkinan paling dicadangkan yakni mundur dari tempat kerja untuk saat ini sepertinya bukanlah sebuah solusi."

Sekonyong-konyong dia pun ingat dengan kata-kata gurunya waktu SMP yang membahas sebuah hukum ekonomi.

"Jadi Hukum Gossen I menyatakan bahwa jika pemuasan keperluan terhadap suatu jenis benda tertentu dilakukan secara terus menerus, maka kenikmatannya akan terus berkurang sampai akhirnya mencapai suatu kejenuhan", begitu kira-kira bunyinya.

Lalu Badrun dengan serampangan mencoba mengkoneksikan antara keduanya. "Kerjaan kalau terlalu frekuentatip dan buanyak, lama-lama jenuh juga yak. Tapi bukan karena tak bersyukur. Antara bersyukur dan merasa capek karena beban kerja yang tinggi itu ya jelas beda", begitu kata hatinya.

Dan kemudian dia pun ingat apa kata dosennya saat kuliah yang mengampu mata kuliah Beton Bertulang. "Struktur akan mulai mengalami crack salah satunya jika tulangan yang ada di dalamnya sudah tak dapat menanggung gaya tarik yang dibebankan pada dasar struktur tersebut sehingga mencapai titik leleh", begitu kira-kira rekonstruksi kalimat pak dosen yang melintas di benaknya.

Besi saja bisa rontok kalau overloaded, apalagi hati...yaaak, elaaaah.

Tapi sejurus kemudian, dia pun ingat apa yang disampaikan oleh seorang motivator kesukaannya. Pak Teguh namanya.

Dia pernah bilang jika kita sedang mengalami kebosanan dalam beraktivitas di kantor, carilah sesuatu yang membuatmu nyaman berada di sana.

Bisa jadi dia adalah pot bunga, miniatur motor balap, foto-foto keluarga atau apapun itu yang bisa membuat kita nyaman saat penat bekerja. Asal jangan buah durian dan hewan piaraan. Bisa kena teguran nanti.

Badrun pun berpikir tentang sesuatu itu. Tapi belum ketemu.

Tentu bukan hal yang mudah untuk mereduksi kejenuhan di tengah penyanderaan yang dilakukan oleh statusnya yang bisa dibilang sebagai comfort zone. Kemungkinan paling dicadangkan yakni mundur dari tempat kerja untuk saat ini sepertinya bukanlah sebuah solusi.

Keinginannya untuk merintis usaha bukannya tak ada lagi namun bidang apa yang bisa ditekuninyalah yang membuatnya gamang.

Selain itu, Badrun pun merasa belum siap untuk kehilangan bonus tahunan dan THR yang secara rutin didapatkannya. Sebuah mental yang karyawan bingits.

Dengan kondisi seperti itu, nampaknya apa yang dialami Badrun akan menjadi sebuah pertunjukan tong setan. Muter-muter dan begitu-begitu saja. Sehingga tak ada jalan lain kecuali menikmatinya.

Paling-paling untuk mengurangi beban yang ada, Badrun pun senyam-senyum dan ketawa-ketiwi bersama rekan setimnya untuk menikmati semua kepenatan itu.

Sembari berharap, hari segera berlalu dan kembali tiba Sabtu malam, sehingga dia bisa nonton film di rumah bersama istrinya sambil menikmati mendoan dan kripik singkong.

Baca juga artikel lain :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun