Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bertemu Kawan Lama, Kesusahan pun Jadi Bahan Tawa

21 Juni 2019   16:00 Diperbarui: 21 Juni 2019   22:04 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebersamaan Penguin of Madagascar | Foto zimbio.com

Kalau Tuan dapat kawan baru. Kawan lama dilupakan jangan..

Begitu bunyi potongan lirik lagu bertitel Soleram yang kerap kita nyanyikan saat kecil.

Kemarin siang, ada salah seorang rekan kerja yang juga kawan sealmamater saat kuliah bertanya kepada saya apakah punya waktu untuk makan siang bareng. Tumben dia bertanya begitu karena biasanya kami sudah punya pilihan tempat makan siang masing-masing. Ternyata, dia dapat kabar dari seorang kawan lama kami yang pernah duduk di bangku kuliah yang sama ingin bertemu, sekedar untuk bersapa dan bertukar kabar.
Pilihan tempat makan pun ditentukan yakni di sebuah resto bernuansa Jepang di Grand Indonesia (GI). Kebetulan kantor kami tak jauh dari situ.
Memasuki resto, saya langsung menghampiri meja tempat mereka makan. Saya telat datang karena harus terlebih dulu menyelesaikan sebuah urusan. Gampang diduga, setelah 17 tahun tak bertemu, kawan lama saya itu pangling dengan tampilan baru saya. Kami lulus kuliah sekitar tahun 2002.
Mungkin dia tak akan sadar (setidaknya dengan cepat) bahwa saya adalah teman kampusnya jika saja teman kerja saya tak memberitahukannya. Bukan karena tambah perlente, namun karena ukuran badan yang bertambah gambot. Berbeda dengan dia yang relatip tak banyak berubah.
Percakapan pun cair seketika. Dari tanya jawab kabar masing-masing hingga membahas tentang daerah asal. Kebetulan kami pun berasal dari daerah yang sama.
Kisah-kisah masa kuliah pun jadi topik utama. Termasuk di dalamnya segala romantika saat mengerjakan tugas-tugas kuliah yang dulunya ramai dengan ragam keluh kesah. Dari susahnya menemui dosen untuk konsultasi, panas-panasan di bawah terik matahari saat survei (mana hasil hitungannya salah karena hasil survei yang tak akurat) sampai cerita-cerita tentang bagaimana kami mengakali tugas agar bisa diselesaikan. Hal-hal seperti itu, yang pada masanya dianggap tak mengenakkan dan menyulitkan, kini menjadi bahan cerita yang mengundang tawa. 
Kabar kawan-kawan lain pun tak luput dari pembicaraan. Ada di antara mereka yang menjadi dosen, bekerja di perusahaan ternama ataupun berwirausaha. Dan yang menarik adalah bahwa profesi yang dijalani saat ini tak selalu sesuai dengan keadaan kami saat kuliah.
Teman kami yang dosen, ternyata dulunya bukanlah mahasiswa yang selalu ber-IPK 3 koma saat kuliah. Rajin iya, tekun iya, tapi IPK-nya hanya rata-rata. Ada pula kawan kami yang kini sukses menduduki posisi cukup tinggi di perusahaan asing, justru dulu kerap bolos kuliah. Kawan lain yang dulunya sama sekali tak terlihat dalam kegiatan agama di kampus, kini aktip dalam kegiatan dakwah bahkan sampai luar negeri (jaulah/jamaah tabligh).
Dan banyak cerita lain yang menunjukkan bahwa apa yang terjadi hari ini tak selalu kongruen dengan apa yang kita lakukan saat kuliah. Bahkan ada di antara kami --yang dulu kuliah di teknik sipil-- justru bekerja di sektor perbankan dimana ilmu-ilmu teknik sipil jauh dari kata "tersentuh". Termasuk saya yang kini menggeluti bidang telekomunikasi dimana ilmu-ilmu teknik sipil tak diberdayakan.
Memang benar, kuliah pada dasarnya adalah jenjang yang ditempuh untuk menggali ilmu bukan untuk "mencari uang" karena tak mesti selepas lulus kita akan menekuni profesi yang sesuai dengan apa yang kita pelajari di bangku perkuliahan. Sekolah atau lembaga-lembaga perguruan adalah tempat untuk menempa pola pikir seseorang seperti bagaimana cara mengidentifikasi dan memetakan suatu masalah lalu memecahkannya. 
Di sana juga menyediakan tempat berorganisasi dimana seseorang dapat menempa kemampuannya dalam memimpin, berargumen secara cerdas dan mengaktulisasikan diri. Dan hal-hal yang berada di luar buku atau diktat yang kita pelajari kadang justru membawa manfaat yang tak kalah besarnya dengan semua teori yang disampaikan oleh para dosen.
Dan mengenai kawan, ada yang bilang kita harus pilih-pilih teman. Tak ada salahnya dengan hal itu. Karena dalam hubungan sosial itu ada aktivitas saling mewarnai. Jika seseorang mudah larut atau terpengaruh, ada baiknya dia memilih untuk memfilter kawan yang sekiranya dapat memberikan efek negatip, namun jangan juga dengan cara menjauhinya secara mencolok. 
Dan bagi mereka yang bersifat laiknya ikan yang tak ikut menjadi asin meski di lautan luas, silakan saja berkawan dengan siapa saja namun harus tetap ada batasnya. Karena kawan adalah salah satu pihak yang bisa menjadi perantara rejeki kita di satu saat. Seperti yang saya alami dimana dari 6 perusahaan yang pernah saya hinggapi hingga kini, 3 diantaranya saya dapatkan informasinya dari seorang kawan baik saat sekolah maupun kuliah.
Jadi jangan lupa, silaturahmi adalah sarana untuk memperpanjang umur dan memperluas rejeki. Semakin luas hubungan pertemanan kita dengan orang lain, makin lebar juga pintu rejeki. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun