Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadan, Haruskah Diricuhkan dengan Doa Berbuka Puasa?

9 Mei 2019   04:25 Diperbarui: 9 Mei 2019   05:32 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski selepas helatan akbar Pemilu 2019, suasana Ramadhan tahun ini ternyata tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Seiring dengan ramainya media elektronik menayangkan sajian-sajian keagamaan, permasalahan terkait dengan perbedaan amaliyah selama Ramadhan pun mengemuka. Tak jarang, perdebatan mengenai hal itu justru terjadi di antara orang-orang yang tak paham dalil, hanya bermodal mesin pencari dan copy-paste.

Perbedaan-perbedaan itu mulai dari metode penetapan awal Ramadhan lalu merembet ke masalah doa buka puasa, jumlah rakaat tarawih dan tata caranya, niat puasa, imsak dan masalah sejenis yang sama sekali tak ada hubungannya dengan sah atau tidaknya puasa. Pun tak terkait dengan batal atau berkurangnya pahala puasa seseorang.

Bagi golongan tertentu, gugatan terhadap amaliyah yang sudah mentradisi namun menurut mereka tak sesuai sunnah itu adalah sebuah sarana untuk memperbaiki kualitas keberagamaan umat Islam. 

Di sisi lain, muslim yang sudah nyaman dengan tradisinya merasa terusik karena menganggap hal yang dilakukannya selama ini sudah pasti merupakan hasil telaah ulama terdahulu. 

Adu Dalil, Awam pun Bingung

Mereka yang memiliki ilmu sibuk mengutarakan gugatan dengan rentetan dalil yang diambil dari hadits atau kitab-kitab klasik gubahan ulama mutaqaddimin ataupun ulama kontemporer yang mereka ikuti. Pihak yang digugat pun menyajikan pembelaan dengan dalil yang merupakan kalam ulama klasik di dalam kitab-kitabnya. 

Kondisi seperti itu tentu akan membingungkan sebagian besar muslim yang tak memiliki kemampuan menganalisa masalah alias muslim awam. Namun tak jarang, meski awam mereka justru gemar menghembuskan isu tentang perbedaan itu.

Parahnya lagi, muncul anggapan bahwa dengan mendapatkan satu macam informasi dari seorang dai maka hal itu berarti mereka sudah mengerti dalil akan sebuah amaliyah. Namun nyatanya jika disodorkan kepada mereka dalil dari ulama lain yang berbeda dengan apa yang sudah mereka dapatkan, mereka tak dapat menyajikan dalil bantahannya.

Lagi, Mengenai "Allahumma Laka Shumtu"

Salah satu contoh yang kerap jadi bahan perdebatan dalam bulan Ramadhan adalah doa berbuka puasa. 

Ada segolongan orang yang gemar menyinggung tentang kelemahan hadits mengenai lafal doa "Allahumma laka shumtu" dan mengatakan "Dzahabadh dhamau" lebih afdhal atau bahkan mengatakan lafal doa kedua itu adalah lafal yang benar karena status haditsnya yang dinilai shahih. Mereka ini adalah para pengikut Salafi yang dalam berbagai masalah kerap merasa paling benar dari muslim yang berbeda dengan mereka.

Dalam kasus ini, mereka seolah lupa bahwa seorang ulama masyhur Salafi yang dikenal sebagai seorang ahli fiqih, Syekh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dalam kumpulan fatwanya --Majmu' Fatawa wa Rasail 19/363 berkata :

"Doa yang ma'tsur: (Allahumma laka shumtu wa 'ala rizqika afthartu), di antaranya juga ucapan Nabi : Dzahabadh dhama'u wabtalatil 'uruqu wa tsabatal ajru insya allah. Dua hadits ini, jika di dalamnya ada kelemahan, tetapi sebagian ulama telah menghasankan keduanya. Bagaimana pun juga, jika Anda berdoa dengan doa ini atau selainnya saat menjelang berbuka, maka itu adalah momen dikabulkannya doa." (klik sumber)

Jika Syekh 'Utsaimin saja bersikap bijak seperti itu, kenapa dai-dai Salafi yang ada di Indonesia justru terkesan lebih keras penentangannya terhadap tradisi yang sudah berjalan (Allahumma laka shumtu)?

Apakah mereka merasa lebih salaf dari sang syekh? 

Awam Bertanya Dalil, Pantaskah?
Seorang ulama kenamaan bermazhab Maliki, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi atau dikenal dengan Imam al-Syathibi (w. 790 H) dalam sebuah kitabnya yang membahas tentang ushul fiqih, al-Muwafaqat (judul asli : Unwan al-Ta'rif bi Ushul al-Taklif) berkata :

"Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar'i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu" 

Selanjutnya masih dalam kitab yang sama, beliau mengatakan bahwa fatwa para ahli ijtihad itu statusnya sama dengan dalil syar'i bagi para mujtahid.

Jadi orang awam yang tak paham mengenai ilmu perangkat dalam menelaah sumber hukum baik al-Quran maupun al-hadits cukuplah berpedoman pada perkataan ulama yang memiliki ilmunya. Karena diberikan dalil apapun, jika tak mengerti cara menelaahnya maka seseorang hanya akan mengangguk meski dalil yang diberikan tak sesuai dengan konteksnya. 

Buat apa merasa bisa memahami dalil, jika berbahasa Arab saja masih tergopoh-gopoh mencari terjamah. Padahal ilmu ini menjadi dasar dalam memahami sumber hukum Islam baik al-Quran maupun al-hadits. Dan jangan mengira, bahwa dengan mengerti terjemahan seseorang juga telah mengerti kandungan kitab suci dan sunnah nabi.

 Allahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun