Mohon tunggu...
masikun
masikun Mohon Tunggu... Petani - Mahasiswa

Mahasiswa Pertanian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menemukan dalam Kehilangan

28 Oktober 2019   05:08 Diperbarui: 28 Oktober 2019   05:16 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kok diem terus. Satu stasiun lagi nih. Setelah itu gak ketemu lagi loh?" Dia hanya diam. Tatapanku kosong ke arah bordes.

"Tasmu mana? Sudah dipastikan gak ada yang ketinggalan tho?" Tanya dia kemudian.

"Ehmz sudah kok sudah."

"Ini  jadi  temanmu saat meneruskan perjalanan nanti. Dijaga ya." Dia serahkan buku karya Cak Rusdi yang berjudul "Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis.

"Uwhh, boleh juga."

Dia kembali memandangi keluar kereta. Mulai nampak hamparan sawah yang kering. Sisa-sisa panen padi masih teronggok di sudut-sudut petakan. Laju kereta nampaknya terasa makin cepat. Artinya perpisahan itu juga akan semakin dekat. Ah kenapa aku jadi begini sih? Dia saja tenang, kenapa aku harus meradang. Eh siapa juga kau?

Nampaknya obrolan kami berpindah ke masing-masing relung hati. Tidak ada sepatah katapun yang terlontar. Tak ada suara celoteh tawa akan cerita-cerita tentang anak-anak didiknya. Hanya suara sambungan kereta tiap melewati bantalan rell yang berjarak. Kuraih daypack di atas kabin. Kuperiksa satu persatu bawaan termasuk buku yang baru saja ia berikan. Dia masih fokus memandang keluar. 

Lamat-lamat aku mulai mengenal tempat-tempat yang sedang terlewati ularbesi ini. Semakin dekat saja. Kereta melambat. Alunan lagu keroncong mulai terdengar sayup. Klakson mulai terdengar. Suara palang pintu meraung-raung. Keretapun tiba. Berhenti.

"Sampai ketemu lagi ya!"

"Iya, hati-hati."

Sepertinya ini adalah cara perpisahan yang lebih menyedihkan ketimbang perpisahan itu sendiri. Tidak ada kata perpisahan. Tidak ada. Atau mugkin sejatinya memang tidak ada perpisahan? Saking bingungnya akupun mengulurkan tanganku. Entah buat apa. Iapun menyambutnya. Ini adalah kali pertamanya tangan kami bersentuhan. Ah hal konyol apalagi yang sedang kulakukan ini. Aku berlalu. Ingin rasanya aku ikut denganya sampai dipemberhentian terakhir. Tapi apa mau dikata, keretaku ke Surabaya tidak melewati kotanya. Sangat tidak mungkin untuk aku bolak-balik. Jelas tidak terkejar waktuku. Langkahku berat. Tangan mengepal dengan erat. Semakin jauh dari yang tadinya dekat. 

Keluar kereta, aku tak lantas untuk keluar dari Stasiun. Aku masih duduk memandangi gerbong demi gerbong kereta yang telah membawaku dan juga kenangan dari Jakarta-Sidareja. Lengkingan peluit dari kondektur berbunyi. Alunan lagu keroncong kembali mengudara. Kereta perlahan bergerak. Berangkat. Aku masih saja memandanginya. Berharap dia juga begitu, dari balik keca hitam itu. Lama-lama kereta semakin cepat. Lalu lenyap.

Aku masih saja asik duduk di peron. Mencoba memutar peristiwa demi peristiwa dari kemarin hingga pagi ini. Waktu memang jahat. Tanpa mau kompromi segala terjadi. Baik yang suka, ataupun duka itu sendiri. Tapi begitulah waktu bekerja. Semua orang tentu ingin sekali saat-saat membahagiakan itu agar terus berjalan, waktu untuk senan-senang itu diperpanang, sebaliknya waktu kedukaan baiknya dikurangin atau hilang sama sekali. Tidak. Itu bukan kebijakan waktu. Kebijakan waktu itulah yang membuat hidup ini selalu penuh warna. Hari kemarin masih jalan berdua, asik ngobrol sana-sini, tiba-tiba pagi harinya sepi sunyi bersama diri sendiri. 

Entah kapan lagi bisa berjumpa dengannya. Satu hal yang harus selalu disadari bersama adalah keniscayaan adanya perpisahan. Siapa yang bisa menjamin untuk terus bersama? Apalagi buat dua insan yang memang bukan siapa-siapa dengan kisah yang bagaimana. Memaknai tiap bersua adalah langkah bijaksana. Tidak lebih. Karena memang tidak ada yang pantas dilebihkan. Seberapapun dekatnya, asiknya, toh kami ini siapa dalam kisah yang seperti apa? 

Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Bisa jadi adalah awal untuk memulai. Seperti kata Tere Liye dalam novel Rindunya bahwa untuk apa bersedih dalam perpisahan jika didalamnya lebih banyak pertemuan? Untuk apa bersedih karena kehilangan jika didalamnya lebih banyak menemukan? Ah menghibur memang. Setidaknya selepas kehilanganya aku memang lebih banyak menemukan. Menemukan rasaku, misalnya.

-Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun