Mohon tunggu...
Tri Muhammad Hani
Tri Muhammad Hani Mohon Tunggu... -

Sekedar menulis pemikiran yang terkadang aneh, nyeleneh dan melawan arus...Serta selalu menjaga liarnya pikiran

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengawasan Eksternal Rumah Sakit di Era JKN : Cukupkah Hanya oleh Badan Pengawas?

14 April 2015   06:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan hampir berjalan 1,5 tahun sejak resmi digulirkan pemerintah pada 1 Januari 2014. Dalam rentang waktu tersebut, berbagai kejadian, fenomena, data, fakta dan realita dapat kita lihat dan dengar dari berbagai sumber informasi yang ada saat ini.

Persoalan kunjungan pasien yang melonjak drastis, pengakuan masyarakat bahwa RS sering "menolak" pasien dengan alasan Tempat Tidur penuh hampir setiap hari kita dengar. Korban dari adanya "tragedi" inipun sudah beberapa kali kita dengar. Kasus Dara dan Dera adalah salah satu kasus yang sangat fenomenal dan menyita perhatian serta perbincangan publik secara nasional. Masyarakat memberikan penilaian negatif kepada sektor kesehatan, tudingan negatif diarahkan kepada Rumah Sakit dan stakeholder bidang kesehatan baik pusat maupun daerah. Masyarakat tidak peduli dan tidak mau tahu dengan kesulitan yang dihadapi oleh rumah sakit, sementara di sisi lain RS juga belum sepenuhnya menjalankan fungsi dan kewajiban sebagaimana sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit.

Keluhan Masyarakat Terhadap Pelayanan Rumah Sakit

Berbagai keluhan masyarakat dan pasien terkait dengan program JKN oleh BPJS Kesehatan hampir tiap hari kita dengar dan kita baca. Dengan menggunakan beragam gaya bahasa, kata-kata versi masyarakat, saya mencoba untuk menyimpulkan dari begitu banyak dan ragam nya keluhan tersebut terkait dengan pelayanan RS dalam program JKN ini menjadi 5 (lima) permasalahan utama, yaitu :

1. Keluhan terhadap kekurangan jumlah tempat tidur di RS sehingga pasien merasa ditolak dan dipingpong kesana kemari untuk mencari sendiri rumah sakit yang masih memiliki tempat tidur kosong.

2. Keluhan terhadap buruknya pelayanan, prosedur yang rumit dan bertele-tele dan harus melalui sistem rujukan yang berjenjang.

3. Keluhan terhadap pelayanan yang bersifat gawat darurat (emergensi) karena adanya asimetris informasi tentang kriteria emergensi yang telah ditetapkan dengan kondisi emergensi menurut asumsi masyarakat.

4. Keluhan terhadap keterbatasan sarana untuk pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi khusus (MRI, CT Scan, Lab canggih).

5. Keluhan terhadap keterbatasan obat-obatan yang belum ada di Formularium Nasional maupun yang sudah ada namun faskes yang belum mampu menyediakan obat-obatan tersebut.

Dari berbagai macam keluhan tersebut, pangkal persoalan sebenarnya adalah terletak pada dua hal yaitu, pertama karena kurangnya sosialisasi tentang program JKN kepada masyarakat. Dari berbagai keluhan yang disampaikan oleh masyarakat tersebut sebagian besar berawal dari kurang pahamnya masyarakat akan program JKN ini. Sesungguhnya keluhan pada poin (b) sampai poin (e) sudah diatur semuanya dalam ketentuan-ketentuan pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan dari mulai Perpres, Permenkes, Kepmenkes, Surat Edaran (SE) Menkes, Peraturan Direktur BPJS dan SE Direktur Pelayanan BPJS. Meskipun beberapa peraturan masih perlu dievaluasi dan direvisi, namun jika sosialisasi terhadap aturan-aturan ini yang memuat sistem, prosedur, hak, kewajiban dan manfaat JKN ini cukup optimal maka saya meyakini bahwa keluhan-keluhan tersebut akan berkurang secara signifikan.

Persoalan kedua adalah memang harus diakui oleh kita semua masih adanya beberapa rumah sakit yang dianggap oleh masyarakat "menutup-nutupi" hak-hak peserta BPJS Kesehatan baik dilakukan secara sadar ataupun tidak disadari. Contoh yang cukup transparan adalah masyarakat menganggap RS "tidak mau" memberikan pelayanan kepada peserta JKN, padahal ini sangat mungkin terkait dengan adanya kebijakan internal RS seperti pembatasan atau kuota jumlah tempat tidur yang disediakan. Hal-hal yang menjadi latar belakang RS melakukan hal ini cukup bervariasi, namun semuanya bermuara pada satu hal, yaitu ketidakpuasan RS terhadap rendahnya pembayaran klaim dengan tarif yang mengkuti sistem pembayarn prospektif dalam paket tarif sesuai Case Mix-INA CBG. Dampak paling mudah untuk dilihat adalah ketika hospitas cost yang diserap terhadap pelayanan pasien peserta JKN lebih tinggi daripada jumlah yang dibayarkan oleh BPJS maka akan berbanding lurus terhadap rendahnya penerimaan jasa pelayanan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, nakes lainnnya) yang pasti akan berujung pada penurunan kualitas pelayanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun