Mohon tunggu...
Tri Muhammad Hani
Tri Muhammad Hani Mohon Tunggu... -

Sekedar menulis pemikiran yang terkadang aneh, nyeleneh dan melawan arus...Serta selalu menjaga liarnya pikiran

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengawasan Eksternal Rumah Sakit di Era JKN : Cukupkah Hanya oleh Badan Pengawas?

14 April 2015   06:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Persoalan lainnya adalah beberapa rumah sakit masih melakukan pembatasan atau kuota jumlah tempat tidur bagi peserta JKN. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, karena UU Rumah Sakit belum secara tegas melarang rumah sakit memberlakukan kuota atau pembatasan jumlah tempat tidur. Belum ada ketentuan setingkat menteri yang secara tegas dan eksplisit melarang pembatasan jumlah tempat tidur (kuota) pasien peserta JKN. Dalam UU RS memang telah mengatur kewajiban RS menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin (UU RS No. 44/2009 Pasal 29 Ayat (1) huruf e yang kemudian diatur lagi melalui Permenkes Nomor 69 Tahun 2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien pada Pasal 4 terkait dengan penyediaan sarana dan pelayanan bagi pasien tidak mampu atau miskin dengan ketentuan RS harus menyediakan paling sedikit 40 % dari total tempat tidur untuk RS Pemerintah dan paling sedikit 20 % dari total tempat tidur untuk RS Swasta sebagai tempat tidur Kelas III bagi masyarakat tidak mampu atau miskin. Yang menjadi masalah adalah saat ini peserta program JKN bukan hanya masyarakat tidak mampu sebagai peserta BPJS PBI, namun ada peserta BPJS sebagai Peserta Penerima Upah (PPU) dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) termasuk jalur mandiri. Selain peserta BPJS PBI, maka ada ketentuan hak kelas rawat inap di RS berdasarkan aturan (PPU Pemerintah) dan kerjasama masing-masing badan usaha (PPU Badan Usaha) dengan BPJS serta bagi peserta PBPU (mandiri) berdasarkan jumlah premi yang diambilnya.

Satu-satunya "himbauan" terkait tentang hal ini hanya dapat kita temukan dalam Permenkes Nomor 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Sitem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) pada halaman akhir terdapat himbauan dengan kalimat "Apa saja yang sebaiknya TIDAK dilakukan oleh rumah sakit" pada poin terakhir yaitu poin ke-7 : " Memberikan pelayanan dengan mutu yang kurang baik. Misalnya : memperpendek jam pelayanan poliklinik, pelayanan yang bisa diselesaikan dalam waktu satu hari dilakukan pada hari yang berbeda, tidak melakukan pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan, tidak memberikan obat yang seharusnya diberikan, serta MEMBATASI JUMLAH TEMPAT TIDUR yang tersedia di rumah sakit untuk peserta JKN. Meskipun Permenkes 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada JKN dan Permenkes 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan JK sudah diatur tata cara dan mekanisme naik kelas atas permintaan pasien ataupun dikarenakan keterbatasan sarana tempat tidur RS, namun tetap belum mampu menyelesaikan masalah terkait keluhan pasien yang merasa kerap "ditolak" oleh rumah sakit dengan alasan kamar penuh.

Disinilah peran dan fungsi pengawasan oleh BPRS dan BPRS Propinsi dalam mengawasi berbagai "upaya" rumah sakit untuk tidak mengindahkan himbauan tersebut. Aturan yang bersifat kurang tegas dan gamang memang memicu untuk terjadinya pelanggaran meskipun terkadang tidak disadari oleh rumah sakit.Kelembagaan BPRS dan BPRS Propinsi belum mampu menjangkau seluruh rumah sakit di Indonesia sampai ke pelosok negeri. BPRS dan BPRS Propinsi (bagi yang sudah terbentuk) baru mampu menyisir rumah sakit-rumah sakit di daerah perkotaan dan belum sampai menjangkau ke tingkat kabupaten apalagi daerah-daerah perbatasan yang jauh dari pusat pemerintahan. Hal ini menyebabkan peran dan fungsi BPRS dan BPRS Propinsi masih kurang dirasakan oleh masyarakat. Bahkan saya yakin bahwa masih banyak pihak yang berkecimpung di sektor kesehatan dan perumahsakitan yang belum tahu akan keberadaan lembaga ini apalagi masyarakat awam.

Keluhan-keluhan masyarakat terkait dengan pelayanan RS belum mampu dijangkau, dipetakan, dikaji dan dianalisa oleh BPRS dan BPRS Propinsi. Di sisi lain BPRS masih kurang kuat memiliki kewenangan sehingga bergaining position (posisi tawar) BPRS dan BPRS Propinsi terhadap rumah sakit masih lemah padahal jika menilik struktur dan keanggotaan BPRS ini sudah melibatkan unsur masyarakat dan organisasi profesi sehingga independensi nya akan terjaga. Sayangnya lembaga strategis ini ibarat pedang tajam yang tidak bisa ditarik dari sarungnya.

Permasalahan

1. Wilayah geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, terdiri dari 17 ribu lebih pulau dengan jumlah penduduk lebih dari 240 juta jiwa tersebar dalam 492 kabupaten/kota yang sangat mustahil bisa dijangkau semuanya oleh BPJS dan BPJS Propinsi.

2. Sosialisasi program JKN kepada masyarakat yang belum optimal. Sampai dengan saat ini BPJS masih disibukkan oleh persoalan pendaftaran peserta baru, pembayaran iuran dan sosialisasi kepada badan usaha yag harus mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS berdasarkan ketentuan Perpes Nomor 12 Tahun 2013 tentang JKN yang diperbaharui melalui Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perpes Nomor 12 Tahun 2013.

3. Jumlah Rumah Sakit di Indonesia baik RS Publik ataupun Privat yang berjumlah sangat banyak. Data Kemenkes terakhir melalui RS Online adalah terdapat sebanyak 2.397 RS Umum dan Khusus milik pemerintah dan swasta. Sedangkan data terkini dari BPJS, jumlah RS yang sudah bekerjasama adalah sebanyak 1.664 rumah sakit. Jumlah ini tentu saja sangat tidak mungkin bisa diawasi seluruhnya oleh sebuah lembaga yang hanya berkedudukan di tiap propinsi saja.

4. Dinas Kesehatan memang sudah memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit, namun seringkali fungsi pembinaan dan pengawasan tersebut belum berjalan optimal karena banyak kendala di lapangan juga termasuk adanya konflik kepentingan yang asimteris antara penyelenggara negara (aparatur) dengan masyarakat.

Usul dan Saran

1. Pembentukan BPRS diseluruh propinsi di Indonesia dengan target selambat-lambatnya pada akhir 2015 seluruh propinsi di Indonesia harus sudah memiliki BPRS Propinsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun