Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Penjual Gado-gado

15 Februari 2019   15:06 Diperbarui: 15 Februari 2019   15:37 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://jakarta.tribunnews.com

Hari-hari ini kita disibukkan dengan kontestasi pemilu 2019. Perdebatannya ramai hingga masuk ruang-ruang media sosial. Pendukung dari dua kubu pasangan calon, saling baku hantam di media sosial. Potret itulah yang menghiasi kontestasi pemilu tahun 2019 ini.

Kamis pagi, saya datang ke KPU Jakarta Selatan untuk pindah TPS pencoblosan. Sekitar dua bulan yang lalu saya sudah resmi pindah dari Jogja ke Jakarta Selatan. Kepindahan itu, menyebabkan saya belum masuk DPT pemilu 2019.

Saya sudah memiliki KTP dan KK Jakarta Selatan, maka saya menjadi DPK (Daftar Pemilih Khusus), nyoblosnya di atas jam 12. Selesai urusan dari Kantor KPU Jakarta Selatan, saya pulang ke Bangka. Tapi, kemudian mampir dulu untuk makan siang.

Di seberang Jalan Raya Kapten Tendean Jakarta Selatan, saya menemukan penjual gado-gado. Gerobak gado-gado diparkir di trotor jalan raya. Persis berdekatan dengan RSUD Mampang Prapatan dan Kantor KPU Jakarta Selatan.

Sambil menunggu gado-gado selesai dibuat, saya mencari informasi dari penjualnya. Kebutulan sang penjual seorang wanita setengah baya. Logat bahasa yang digunakan, sepertinya wanita ini peranakan sunda. Masih jam 11, jadi belum banyak pembeli yang datang untuk makan siang.

"Ibu, jualan di sini memangnya tidak ada Satpol PP...?" Saya memulai bicara. Sembari menikmati udara Jakarta yang pengap.

"Ada mas, tapi santai sajalah. Pokoknya hati-hati saja.." Dia menjelaskan dengan sumringah.

"Kalau ada Satpol PP, apa nanti tidak diangkut gerobaknya?" Saya terus mengorek informasi darinya.

"Kalau ada Satpol PP, sembunyi dulu mas. Saya pura-pura jalan. Nanti kalau mereka pergi, saya balik lagi jualan di sini..." Suaranya sangat pelan. Menjawab dengan logat Sunda yang khas.

Sebelum melanjutkan perbincangan, saya menikmati gado-gado. Rasanya nikmat sekali gado-gado itu. Manis, pedas, dan macam-macam sayuran diaduk jadi satu di mulut. Saya memang penggemar berat gado-gado atau karedok.

Makanan ini, bagi saya tetap nikmat. Tidak tergantikan oleh masakan Barat, Jepang, atau Chinese yang saat ini menjamur di Ibu Kota. Gado-gado atau karedok, memang hanya makanan pinggiran. Tapi, masakan ini adalah budaya Indonesia asli.

"Ibu, nanti coblos di mana...?" Saya mulai lagi bertanya padanya. Hendak menilik pandangan politik penjual gado-gado ini.

"Saya tidak nyoblos tahun ini mas..." Tatapannya jauh. Memandang gedung-gedung tinggi menjulang di seberang jalan.

"Kenapa tidak nyoblos bu. Kita tidak boleh golput lhooo...?" Saya tersenyum padanya. Sembari menikmati gado-gado yang istimewa.

"Sebenarnya saya orang kampung. Malas pulang saja, ganti presiden nasib saya tetap begini mas..."

Saya tatap sejenak wajah tuanya. Nampak keputus-asaan dalam dirinya. Tentang politik negeri ini yang tidak memberikan kesejahteraan padanya. Baginya, politik hanyalah pesta lima tahunan. Harapan untuk hidup lebih baik, sepertinya sangat sulit.

"Berapa ibu...?" Selesai makan, saya membayar.

"Lima belas ribu mas..." Wajahnya tirus dan lelah. Potret kehidupan orang kecil Indonesia yang belum mendapatkan kesejahteraan hidup.

"Terima kasih ibu..."

Saya berikan uang dua puluh ribu rupiah padanya. Sebelum beranjak pergi, saya pandangi gerobak berisi gado-gado tersebut. Membayangkan bagaimana nasib wanita itu, jika gerobaknya diangkut oleh Satpol PP. Mungkinkah pemerintah mau memperhatikan nasib mereka yang masih belum sejahtera.

Saya melangkahkan kaki. Menjauh dari wanita penjual gado-gado tersebut. Pikiran masih menerawang tentang politik di negeri ini. Beberapa tahun sudah pesta demokrasi dilaksanakan, nasib rakyat kecil belum banyak berubah.

Mungkinkah, pesta demokrasi hanyalah janji yang tidak pernah terwujud. Ataukah, politik hanyalah alat untuk merebut kekuasaan dengan segala cara. Buat apa pesta demokrasi, Toh masih banyak penjual gado-gado di pinggir jalan, yang nasibnya belum sejahtera.

Salam Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun