"Ibu, nanti coblos di mana...?" Saya mulai lagi bertanya padanya. Hendak menilik pandangan politik penjual gado-gado ini.
"Saya tidak nyoblos tahun ini mas..." Tatapannya jauh. Memandang gedung-gedung tinggi menjulang di seberang jalan.
"Kenapa tidak nyoblos bu. Kita tidak boleh golput lhooo...?" Saya tersenyum padanya. Sembari menikmati gado-gado yang istimewa.
"Sebenarnya saya orang kampung. Malas pulang saja, ganti presiden nasib saya tetap begini mas..."
Saya tatap sejenak wajah tuanya. Nampak keputus-asaan dalam dirinya. Tentang politik negeri ini yang tidak memberikan kesejahteraan padanya. Baginya, politik hanyalah pesta lima tahunan. Harapan untuk hidup lebih baik, sepertinya sangat sulit.
"Berapa ibu...?" Selesai makan, saya membayar.
"Lima belas ribu mas..." Wajahnya tirus dan lelah. Potret kehidupan orang kecil Indonesia yang belum mendapatkan kesejahteraan hidup.
"Terima kasih ibu..."
Saya berikan uang dua puluh ribu rupiah padanya. Sebelum beranjak pergi, saya pandangi gerobak berisi gado-gado tersebut. Membayangkan bagaimana nasib wanita itu, jika gerobaknya diangkut oleh Satpol PP. Mungkinkah pemerintah mau memperhatikan nasib mereka yang masih belum sejahtera.
Saya melangkahkan kaki. Menjauh dari wanita penjual gado-gado tersebut. Pikiran masih menerawang tentang politik di negeri ini. Beberapa tahun sudah pesta demokrasi dilaksanakan, nasib rakyat kecil belum banyak berubah.
Mungkinkah, pesta demokrasi hanyalah janji yang tidak pernah terwujud. Ataukah, politik hanyalah alat untuk merebut kekuasaan dengan segala cara. Buat apa pesta demokrasi, Toh masih banyak penjual gado-gado di pinggir jalan, yang nasibnya belum sejahtera.
Salam Indonesia