Yang kita bidik adalah kapitalisasi-kapitalisme di belakang TMBA itu. Jadi sasaran bidiknya terarah. Bukan waton toko-modern-bersih-terang-rapi. Ada unsur maladministrasi & etika bisnis yg disorot.
Jadi, toko2 (sekadar contoh) seperti berikut ini, insya Allah, TIDAK termasuk:
- Pamela
- Maga
- Markaz
- Surya
- Pantes
- Purnama
- Flora/Arrosyi
- Menara
- WS
- Amalia
- Mega
- Agung[caption caption="dokumen DPM Fisipol UMY (atas izin)"]

Aku bertanya kepada salah seorang teman perihal makna dari kata modern. "Modern adalah ketika pembangunan maju pesat baik itu dari segi infrastruktur maupun suprastruktur" ucapnya. lalu saya bertanya lagi pembangunan infrastruktur itu untuk siapa dan seperti apa?? Dengan nada kesal iya menjawab" iya jelas untuk kita semua lah". Saya sedikit miris melihat realita bahwa konotasi kata modernisme kini hanya dimaknai dalam perspektif pembangunan infrastruktur yang ujung-ujungnya dikuasai pemodal. Proses pembangunan infrastruktur selalu mendapat dukungan penuh bahkan tak sedikit dana dikucurkan oleh mereka demi mempermudah akses eksploitasi di kemudian hari. Rakyat ditipu dan diiming-imingi dengan dengan stigma bahwa akses infrastruktur akan membuat rakyat lebih sejahtera. Itu semua dilakukan agar tak ada perlawanan dan penolakan.
Politik korporasi dalam dunia modal begitu mengakar kuat bahkan merasuk masuk ke dalam pemerintahan sehingga kekuasaan oligarki tetap berdiri kokoh di puncak klasemen. Proses demokratisasi pun dikendalikan pihak pemodal sehingga tak heran lagi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan begitu pro terhadap kaum pemodal contohnya saja soal perijinan pembangunan hotel maupun swalayan berjejaring, proses transparansi perijinan sangat kurang dan pemberian ijin pun tak pernah melihat dari perspektif masyarakat. Memang betul adanya apa yang dikatan Tom Bottomore ( 1993) dalam bukunya yang berjudul Elit and society " no borjuasi no demokrasi", tak ada demokrasi tanpa kaum borjuis. Pada tingkat kultural, Kekuasaan demokrasi kita ditunggangi kaum borjuis yang berwujud pemodal sehingga demokrasi kita saat ini adalah demokrasi kapitalis liberalis, demokrasi yang menyengsarakan rakyat kecil. Suatu hal lebih mencengang dan menguras hati lagi yaitu kuatnya hegemoni budaya kaum borjuis terhadap masyarakat. Contoh sederhana saja kebanyakan orang lebih memilih belanja di toko modern daripada di warung tetangga, padahal dari segi harga barang-barang di warung tetangga lebih murah. Saya melihat bahwa belanja di toko modern sekarang dijadikan sebagai identitas diri untuk membentuk kelas sosial bukan karena kebutuhan.
Hari ini saya begiyu tercengang melihat upaya ekspansi yang dilakukan indomaret sampai tatanan kampus. Berusaha merusak idealisme mahasiswa dengan iming-iming materialisme berupa uang sponsor untuk acara. "Kampus sebesar ini harus mengemis uang satu juta sampai harus mengorbankan harga diri" ucap salah seorang petinggi muhammadiah bapak Husni Amriyanto dengan nada marah. Saya rasa bukan hanya hanya saya, siapa saja yang menyuarakan marahnya hari ini,tapi juga tuhan yang begitu murka terhadap orang-orang yang serakah . Mudah-mudahan kita bukan orang yang mendukung swalayan berjejaring yang menyengsarakan warung rakyat.
Â
Kata seorang pengurus Muhammadiyah wilayah, "di saat persyarikatan giat menentang toko berjejaring untuk membela warung rakyat, kita bermesraan dengan salah satu aktor toko berjejering". Saya tidak tahu, rektor pasti banyak di SMS orang. Inayallah Hari INI adalah kemenangan kecil yang Kita raih. Aktivis DPM, BEM, HMI, PMII, IMM, dan organisasi mahasiswa apa saja tolonglah kalian berpihak kepada rakyat jutaan manusia...nyatakan dengan keras sikap berpihak. Harus ada pernyataan TMB Haram masUK kampus di seluruh nusantara, tanah tumpah darah kita.
Â
Alhamdulillah dik kampus alhamdulillah, mahasiswa bisa memukul mundur kapitalisme brandal! Saatnya bersatu menggulung semua musuh-musuh perampok sumber kesejahteraan bersama!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI