Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mitigasi Bencana Hotel

8 Maret 2016   13:53 Diperbarui: 8 Maret 2016   14:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dukungan film documenter wacthdoc turut berkontribusi suksesnya gerakan ini hingga fave hotel ditutup. Dadok mengajak kepada seluruh masayarakat dan juga kaum muda untuk bersama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah kehilangan kebutuhan dasar yakni air. Salah satunya dengan melakukan riset terkait amdal pembangunan hotel dan juga IMB mall di Yogyakarta. suatu ajakan yang sangat penting untuk kita semua.
Jogja darurat hotel?

Kalau ada pertanyaan, sebenarnya siapa yang ngebet membangun hotel sebegitu banyak hingga tak satu pun orang jogja tahu persis nama dan jumlah hotel serta ketersediaan kamarnya? Hal ini jelas, bukan kebutuhan warga Yogyakarta untuk membabi buta membangun fasilitas untuk keperluan yang tidak jelas dukungannya bagi kesejahteraan warga namun sangat pasti kerusakan yang dihasilkannya. Hotel yang dibangun oleh investor, tentu saja akan hanya menguntungkan investor antah brantah.[ii]

Seolah warga tak mendapatkan dukungan yang selayaknya dari pihak otoritas atau akademisi. Beberapa sumber memperkuata bukti bahwa kebanyakan usaha pembangunan bangunan-bangunan komersil tetap berjalan karena adanya dukungan dari aparat kepolisian. Bahkan tidak jarang mendapat dukungan ilmiah dari kalangan akademisi yang luput dari fokus pembangunan yang berkeadilan. Kesan buruk sekali bahwa hari ini, pengusaha, negara, dan kaum intelektual bekerjasama menyengsarakan rakyat. Jadi kita ingat kasus semen di rembang yang mendapat justifikasi ilmiah dari akademisi di UGM.

Namun demikian, ada juga beberapa kaum intelektual yang berani berstatemen agak keras mengenai bencana hotel dan mall ini. Francis Wahono, Direktur Center for Integrated Development and Rural Studies menilai maraknya pembangunan hotel dan mall telah merusak keistimewaan Yogyakarta. menurutnya, dengan menjamurnya bangunan-bangunan itu menggusur warga kampung menyebabkan kerusakan lingkungan sekitarnya. Keangkuhan Mall-mall dan superblock menjadi tontonan tak elok di tengah rakyat yang setia mengawal keistimewaan penguasa. Dengan keadaan hari ini, misalnya praktik ekonomi tidak mengidentifikasi keistimewaan apa pun yang dimiliki oleh DI Yogyakarta.

Emha AInun Najib juga mengajarkan nalar kritis kepada kita dan juga pemerintah mengenai kesalahanpahaman memaknai rakyat dan tujuan pembangunan. Cak Nun menuliskan keseleo pikiran penguasa itu dengan nada sedikit jengkel:


“…pejabat sering salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat adalah bawahan…mereka merasah sah dan tidak berdosa jika memaksakan kehendak atas rakyat. Mereka merasa berhak untuk mengatur, dan rakyat berkewajiban menaati aturan. Inilah tatanan dunia yang dibolak-balik. Bukankah ha katas segala aturan berada di tangan rakyat? Maka menjadi aneh jika rakyat terus menerus diwajibkan berpartisipasi dalam pembangunan karena rakyatlah pemilik pembangunan.” [iii]


Kutipan panjang itu juga membangunkan kesadaran kita bahwa kita bukanlah bangsa bebek yang mengekor apa maunya nafsu kekuasaan. Hotel itu bukanlah janji masa depan, adalah neraka yang dihadirkan dalam kehidupan. dalam konsepsi pembangunan manusiawi, apa yang terjadi di kota Jogja dan apa yang diisyaratkan Cak Nun, kondisi hari ini masih jauh dari pembangunan yang memanusiakan manusia. Manusia yang dimanusiakan artinya manusia diakui sebagai “subyek yang otonom” (Driyarkara, dalam buku Humanisme karya Y.B Mangunwijaya)

Mendidik untuk Melawan

Sebagaimana kata Wiji Thukul ketika melihat perihnya hidup di bawa tirani, hanya ada satu kata LAWAN. Namun, dalam kampanye literasi untuk warga kota tentu ada cara melawan yang tidak kontraporduktif. Radikalisasi kaum muda tidak hanya dengan kekuatan revolusi fisik namun juga dapat dilakukan dengan revolusi harapan yaitu dengan membangun kesadaran dan aksi-aksi nyata walau kecil dalam kehidupan sehari-hari misalnya menanam lahan kosong, mempertahankan ruang publik, menjaga situs kebudayaan tertentu,

 dan melek regulasi dan kemampuan advokasi yang dilandasi dengan pengetahuan yang valid mengenai isu-isu perkotaan seperti RTH, UU, Perda, dan juga kemampuan menggalang sekutu untuk menyuarakan kebaikan. Problem kita bukan kekurangan SDM untuk menyediakan jalan alternatif pembangunan, tapi soal upaya sebagaimana ungkapan Multatuli, "Semua orang ingin melakukannya, tapi tak ada yang berani mengupayakannya."[iv]

Jadi, tak mungkin kekuatan politically correct dan business as usual kita hadapi hanya dengan keinginan untuk mengubah tanpa ada upaya nyata, pengetahuan dan militansi. Bahkan militansi dan pengetahuan itu pun perlu dibarengi dengan daya tahan, ketegaran, kecerdikan untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Ajaran agung perlawanan-perlawanan kecil (small acts of resistance) yang ditulis oleh Steve Crawshaw dan John Jackson (2015) dan kebaikan-kebaikan kecil keseharian (small acts of kindess) itu adalah nafas yang sudah ada dalam infratstruktur ebudayaan yang hidup di masyarakat jawa. Saatnya membuktikan daya ubah dari kebudayaan lokal kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun