Mohon tunggu...
Mas Nanang
Mas Nanang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang ayah yg sederhana, kadang-kadang menjadi penulis lepas (kendali)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu, Maafkan Aku

22 Desember 2013   08:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

******************************

Ibu.....sekarang  jam 1 pagi. Aku baru pulang dari proyek. Alhamdulillah. Kata Pak Mandor ada kerja lembur dan aku dalam kondisi sehat seperti yang selalu Ibu doakan sehabis sholat. Malam Minggu kali ini di jalanan Anyer tidak macet seperti biasa, mungkin karena hari menjelang pagi, dan orang-orang yang berwisata sudah terlelap menikmati mimpi.

Wah......sampai kontrakan tidak bisa langsung istirahat, Bu. Baju kotor yang sudah aku rendam harus segera dicuci. Tidak apa-apa, kok. Namanya juga laki-laki tinggal sendiri. Sudah menjadi kewajiban, bukan menjadi persoalan atau beban . Yang penting tetap semangat, ikhlas dan ingat Allah seperti yang selalu Ibu pesankan. Terbukti kalau dikerjakan juga cepat selesai. Cuma nggak tau kenapa, sepertinya susah untuk dibawa memejamkan mata.

Ibu....sejatinya ada satu hal yang selama hidupku tidak akan terlupa. Dengan menulis ini, semoga bisa sedikit mengobati kekecewaanku kepada diri sendiri karena telah membuat hati Ibu terluka. Masih lekat di ingatanku waktu kelas 5 SD aku jadi anak paling gede di antara teman-temanku yang belum dikhitan. Ibu sangat mengerti perasaanku meski tak pernah kusampaikan. Tapi kata Ibu saat itu, "Nang, Bapak sama Ibu belum punya uang. Khitan itu biayanya mahal, belum lagi untuk biaya syukuran. Kalau kamu dikhitan sekarang, nanti ke mana harus mencari uang untuk biaya sekolah adik-adikmu? Kita sering dikasih nasi sama tetangga, apalagi kalau Mereka sedang syukuran. Terus kamu dikhitan tanpa syukuran, kapan kita bisa sekali-sekali gantian memberi biarpun dengan makanan yang tidak sepadan? Tolong kamu bisa mengerti ini. Kamu itu anak tertua, dalam menghadapi hidup harus bisa menjadi contoh adik-adikmu".

Setelah kejadian itu, aku tidak pernah  lagi membicarakan masalah khitan. Bapak dan Ibu juga kelihatan sangat kecewa. Kekecewaan yang lebih karena merasa  mengabaikan perasaanku, perasaan anaknya. Sampai pada suatu kesempatan aku sudah SMP kelas 1, datang adik Ibu (Bulik Nik) dan suaminya Om Sukoco dari Kertosono (kota kecil di sebelah barat Jombang). Kata Om Sukoco, "Nanang dikhitan di Kertosono aja, di sebelah rumah ada dokter yang bagus". Aku bersyukur adik Ibu punya suami seperti itu, yang masih ingin tetap mengulurkan tangan, membantu membiayai khitananku padahal kondisi keluarganya sendiri masih serba kekurangan. Dan benar, Alhamdulillah seminggu kemudian aku diantar Om Sukoco dan adik iparnya (Om Partono) ke dokter untuk dikhitan. Terima kasih, Om. Ini sungguh tak akan terlupakan.

Tentu aku bahagia, tidak lagi menjadi bahan olok-olokan karena sudah gede belum dikhitan.  Hal yang tidak aku sangka-sangka, rupanya Ibu sudah menyiapkan hadiah. Aku tanya ke Ibu, "Katanya nggak punya uang, Bu. Kok ini bisa membelikan hadiah?". Jawaban Ibu membuatku terkejut, "Dulu waktu kamu masih kelas 4 SD kamu pernah bilang,  kalau dikhitan minta hadiah celana jeans warna putih. Itu sudah Ibu belikan 3 tahun yang lalu". Segera saja aku buka dan tanpa melepas kain sarung, aku pakai celana jeansnya. Betapa kecewanya aku,  ternyata celananya sangat kegedean. Cepat aku lepas lagi, aku banting ke lantai di depan Ibu. Tanpa keluar sepatah kata pun, dengan sabar Ibu mengambilnya. Meski begitu, aku menangkap ada kesedihan di sana. Di raut  muka yang tertunduk dan mata Ibu yang berkaca-kaca.  Tapi aku tetap tidak peduli, dan aku tinggalkan Ibu begitu saja dengan penuh rasa kecewa. Mulai saat itu aku tidak mau bicara apapun dengan Ibu. Tidak!  Karena  Ibu telah mengecewakanku di saat seharusnya aku bahagia.

Belakangan aku baru tahu kalau Ibu sengaja beli celana jeans buatku itu, memang dipilih ukuran yang agak gedean. Ibu justru belum tahu kapan benar-benar ada uang untuk membiayai aku dikhitan. Lagian dengan pertimbangan bahwa tidak bisa setiap tahun (setiap lebaran) aku dan adik-adikku dibelikan baju atau celana, toh kalaupun kegedean nanti bisa dikecilkan. Kalau sudah tidak muat lagi, bisa dipakai untuk adik-adik yang lebih kecil. Selalu hitung untuk berhemat, karena itu yang memang seharusnya diperbuat.

Maaf ya, Ibu. Meskipun sangat sedih mengungkitnya, paling tidak ini sedikit menolongku untuk selalu menghormati apapun yang telah ikhlas Ibu berikan. Untuk tidak bodoh memahami perjuangan Ibu mendapatkan jeans itu dengan mengumpulkan 200 rupiah setiap sore hampir maghrib, sepulang kerja menjadi buruh tani di sawah. Memang itu sudah berlalu. Aku hanya bisa menyesalinya walaupun sangat jauh terlambat dan tidak merubah apa-apa. Yaa  Rabb....mohon ampun atas segala dosa-dosa hamba.

Oh iya, Bu. Tadi sore ada sms dari Bekasi, istriku dan anak-anak dalam kondisi sehat dan sedang bahagia. Cucu Ibu yang pertama (Clarita), sudah terima rapor kelas 1 SMA nya. Alhamdulillah dapat peringkat pertama.  Anak yang selalu ingat pesan Eyang Putri dan kedua Orang Tuanya, bahwa sesederhana apapun kita dan semiskin apapun kita akan harta, tidak pernah menghalangi Allah yang Maha Kaya untuk menganugerahkan begitu banyak karuniaNya. Clarita juga tahu diri untuk tidak merasa lebih pintar dibandingkan teman-temannya, karena sadar kepandaian itu bisa diraih siapa saja yang mau terus belajar dan berdoa. Masih sering juga belajar kelompok dan kadang membantu temannya mengerjakan soal, karena (katanya) hanya perbuatan sederhana itu yang dia bisa lakukan untuk teman, tidak mungkin berupa uang atau jajan.

Cucu Ibu yang kedua (Nilam), juga sudah menerima rapor kelas 1 SD nya. Alhamdulillah, dapat peringkat kedua. Dia juga sering cerita kepadaku tentang Ibu, Eyang Putri yang dicintainya. Tetap ingat untuk terus rajin belajar supaya pintar dan selalu berdoa karena yakin Allah pasti akan mengabulkan permintaannya. Kakak nya bilang, Nilam itu seperti Eyang Putri yang gampang terharu dan punya kepedulian lebih kepada teman-temannya. Tidak jarang dia menjadi anak yang paling dulu membantu, ketika ada teman sekelasnya yang membaca terbata-bata.

Empat tahun yang lalu, cucu-cucu Ibu itu masih kecil-kecil. Tidak suka jajan karena memang tidak ada uang. Jadi dibiasakan sarapan pagi sebelum berangkat, dan membawa bekal untuk persiapan bila pulang terlalu siang. Sekarang mereka sudah punya uang jajan. Tapi kelihatannya lebih suka ditabungkan. Bulan lalu aku sempat dipamerkan dua buku tabungan bergantian. Tertegun waktu Si Kecil bilang, "Ayah, nih adek udah punya buku tabungan kayak Mbak. Nanti kalau isi buku tabungannya udah banyak, aku mau kuliah pakai uangku sendiri. Biar ayah nggak kerja di Anyer pulangnya malam-malam terus. Pulang ke Bekasi nya juga sebulan cuma satu kali. Kasihan Ibu capek tiap hari. Antar aku sama Mbak ke sekolah, antar ke masjid besar untuk mengaji, memasak, mencuci bajuku, membersihkan rumah sendiri, belum lagi kalau musim hujan seperti sekarang. Ribet banget".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun