Mohon tunggu...
Marulam Nainggolan
Marulam Nainggolan Mohon Tunggu... Penyuluh

Kementerian Agama Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Figur Ayah Menurut Kitab Suci

20 Maret 2025   13:13 Diperbarui: 20 Maret 2025   13:13 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah mengusung anaknya (Sumber: www.pexels.com)

Dalam mendidik, seorang ayah harus sabar dan berbesar hati. Ia harus menguasai emosi dengan akal sehat dan kepala dingin. Sebab, belum tentu anak-anaknya dapat dengan mudah memahami ajaran dan didikan yang disampaikan. Musa, dalam pesanya kepada para ayah dari bangsa Israel, mengatakan, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring, dan apabila engkau bangun" (Ul 6:6-7). Bapa dalam keluarga diminta agar setia mendidik dalam keadaan apa pun.

Mendidik dengan hati sangat penting agar anak-anak tidak menjadi ciut. Amarah dan tekanan hanya akan membuakan ketakutan dan hilangnya rasa percaya diri. Itulah mengapa Rasul Paulus berulang mengatakan, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anak-anakmu, supaya mereka jangan tawar hati" (Kol 3:21). Setiap ayah juga hendaklah mendidik anak-anak sesuai dengan zaman, sebab setiap anak selalu hidup di zamannya sendiri. Dalam Kitab Amsal 22:6 dikatakan, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Memaksakan pikiran orang tua agar diikuti orang muda akan membuat anak muda kehilangan kesempatan untuk memandang dan menata masa depan mereka.

Bersungguh-sungguh menjalankan tanggung jawabnya sebagai pendidik adalah kebahagiaan tak terkira bagi seorang ayah. "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu" (Amsal 29:17). Dalam Kitab Sirakh 30:2-3 dikatakan, "Siapa mendidik anaknya akan mendapat sukacita karena dia, dan di tengah-tengah orang-orang ia akan bermegah karena dia. Siapa mengajar anaknya akan mendapat keuntungan darinya dan di antara kenalannya ia dapat membanggakan dia." Hal ini sungguh amat tepat. Bukankan kebahagiaan dan kebanggaan seorang ayah ada pada anak-anaknya? Dan keberhasilan anak-anaknnya sangat ditentukan oleh peran ayahnya. Ayah tidak bisa membiarkan anaknya seperti biji pohon jatuh ke tanah dan tumbuh menjadi tanaman liar. Entah tumbuh dan berbuah, entah tidak, tak ada orang yang memeliharanya.

Imam Pengudus bagi Keluarga

Selain kebahagiaan suami-istri dan kesejahteraan keluarga, tujuan Sakramen Perkawinan adalah terjaminnya pendidikan anak seturut iman Katolik. Inilah komitmen suami-istri ketika menyatakan janji di hadapan Tuhan. Hal itu berarti ayah harus memahami bahwa perannya sebagai pendidik bagi anak-anak merupakan bagian dari penemuhan janji. Dalam Kitab Amsal 3:11-12 dikatakan, "Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi." Ayah adalah perpanjangan tangan Tuhan untuk menyatakan kasih-Nya kepada manusia.

Seorang ayah atau suami adalah imam pengudus bagi seluruh anggota keluarganya. Sebagai imam, ayah memiliki peran untuk melindungi keluarganya dari segala pengaruh jahat dan selalu mendoakan keluarganya agar tetap berada dalam lindungan Tuhan, seperti dilakukan Ayub. "Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka dan menguduskan mereka; ia bangun pagi-pagi dan mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka semua, sebab pikirnya: 'Mungkin anak-anakku telah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.' Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa" (Ayub 1:5). Seorang ayah yang berperan sebagai imam pengudus tidak hanya mengajarkan iman, tetapi juga selalu membawa keluarganya dalam doa dan perlindungan Tuhan.

Sebagai imam, seorang suami atau bapa dalam keluarga hendaknya menjadi orang pertama memiliki hidup rohani baik yang ditandai dengan: merayakan hari raya yang disamakan dengan hari Minggu; mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan pada hari raya yang diwajibkan; berpuasa dan berpantang pada hari yang ditentukan; mengaku dosa sekurang-kurangnya sekali setahun; dan menyambut Tubuh Tuhan pada Masa Paskah. Ingat, "seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya dengan penuh kesungguhan. Sebab jika seseorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus jemaat Allah?" (1 Tim 3:4-5). Bagaimana mungkin keluarga hidup dalam kekudusan jika kepala keluarga cenderung mengabaikan iman?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun