Ayah atau bapak dalam keluarga kurang mendapat tempat di hati publik apabila dibandingkan dengan ibu. Setelah bertahun-tahun Hari Ibu begitu kuat menggema setiap kali 22 Desember tiba, perayaan Hari Ayah baru dimulai sejak tahun 2016 di Indonesia yang ditetapkan setiap 12 November. Idenya muncul pada saat perayaan Hari Ibu juga. Secara internasional, walau berbeda hari, Hari Ayah memang sudah ada sejak tahun 1909. Namun, idenya tetap lahir setelah perayaan Hari Ibu. Kaum ibu juga mendapat predikat yang sangat mulia dalam pepatah, "Surga ada di bawah telapak kaki ibu". Ungkapan serupa atau hampir serupa tidak pernah disematkan kepada ayah sejauh ini.
Besarnya perhatian kepada kaum ibu rasanya memang tidak berlebihan. Betapa tidak, peran ibu selalu terlihat sangat sentral dalam keseluruhan kehidupan keluarga. Ibu biasanya menjadi penanggung jawab urusan rumah tangga, mulai dari memikirkan dan menata kebutuhan rumah, mengelola keuangan, hingga memastikan pendidikan anak. Tak dapat dinafikan, pada umumnya keluarga akan lebih sehat dan kuat jika ibu hadir, berbeda dibanding ayah. Penelitian membuktikan, berhasil tidaknya anak-anak dalam kehidupan akademis mereka sangat dipengaruhi oleh peran ibunya.
Lantas, bagaimana peran ayah di tengah keluarga? Bukankah kehadiran ayah begitu penting dalam kehidupan keluarganya? Kaum bapak tidak perlu merasa kecil hati dengan tipisnya perhatian atau apresiasi di tengah masyarakat. Peran seorang ayah dalam keluarga sangatlah penting. Maka, kali ini, pada katekese awam pekan kedua Maret 2025 ini, kita akan membahas betapa sentralnya keberadaan ayah atau bapak di tengah-tengah keluarga. Kita akan menelisik bagaimana Kitab Suci menempatkan posisi ayah sebagai penanggung jawab, pemimpin, pengasuh, pelindung, pembimbing, pengudus, dan teladan bagi seluruh anggota keluarganya.
Pemimpin yang Bijaksana dalam Keluarga
Seorang ayah adalah pemimpin di tengah keluarganya. Sebagai pemimpin, ia harus memiliki standar moral yang sama dengan pemimpin jemaat. Karena, ia menduduki posisi kepala keluarga, maka syarat kepemimpinan bagi jemaat juga dikenakan baginya. Dalam 1 Timotius 3:2-5 dikatakan, "Penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu istri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah tetapi peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya, sebab jika seorang tidak tahu mengatur rumah tangganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?"
Sebagai pemimpin yang bijaksana, ayah berperan menjadi gembala yang baik bagi keluarganya, yang 'membaringkan anggota keluarganya di padang yang berumput hijau, membimbingnya ke air yang tenang, menyegarkan jiwa seluruh anggota keluarga, dan menuntun mereka di jalan yang benar, sehingga mereka tidak takut bahaya, karena sang ayah selalu memastikan kenyamanan anggota keluar' (bdk. Mazmur 23). Bahkan ayah yang baik rela berkoban demi istri dan anak-anaknya, antara lain mengorbankan kesenangan diri, egoisme pribadi, hingga memberikan nyawanya bagi kehidupan yang lebih baik, lebih nyaman, lebih sejahtera. Ia tidak meninggalkan keluarganya apabila ada masalah yang mengancam, tetapi menyelesaikan dengan baik dan bijaksana (bdk. Yoh 10:11-18).
 Pemimpin yang baik mengusahakan kesejahteraan seluruh anggotanya. Demikian pula bapa dalam keluarga harus siap bekerja keras untuk menjamin kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Rasul Paulus dengan tegas mengatakan bahwa "seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman" (1 Tim5:8). Tuhan Allah sudah memberikan keistimewaan kepada kaum bapa, baik secara fisik maupun pikiran, agar mampu menjalankan tugas untuk memastikan ketersediaan pangan bagi istri dan anak-anaknya, sekalipun tidak tertutup kemungkinan berbagi tugas dengan istrinya untuk tujuan ini. Namun, harus disadari bahwa tugas itu pertama-tama menjadi tanggung jawab kepala keluarga.
Sebagai kelapa keluarga, seorang ayah yang baik adalah suami yang penuh kasih dan hormat terhadap istrinya. Mereka adalah dwi-tunggal, satu kesatuan yang utuh, bukan subordinasi, dengan suami sebagai kepala "karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat" (Ef 5:23). Istri adalah pribadi yang lain dari suami. Suami harus melihat dirinya dalam diri istrinya (bdk. Kej 2:23). Hubungan harmonis suami-istri akan memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya. Paulus menasihatkan, "Hai suami, kasihilah isterimu, sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya" (Ef 5:25). "Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri" (Ef 5:28). Seorang suami harus rela berkorban bagi keluarganya, seperti Kristus rela berkorban bagi manusia.
Pendidik yang Baik Hati bagi Anak-Anak
Ajaran Gereja dalam Gravissimum Education artikel 3 dan Familiaris Consortio artikel 36 dengan terang mengatakan bahwa orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Peran pendidikan yang diberikan oleh orang tua sedemikian penting sehingga hampir tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Ayah tentu saja memegang peran besar dalam tugas yang tak dapat digantikan itu. Ia mendampingi mereka dengan hati dan kelemahlembutan, selalu dilakukan dengan cinta dan kesaksian hidup, dalam semangat kerja sama dan saling melengkapi dengan ibu. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus mengatakan, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan" (Ef 6:4).
Sebagai pendidik yang baik, ayah membidani anak-anaknya 'melahirkan' pemahaman dan kebijaksanaan dari dalam dirinya sendiri melalui dialog dan refleksi sehingga dirinya menjadi pribadi berkarakter dan memiliki kebajikan. Lebih dari itu, didikan ayah harus menuntun anaknya menuju kebaikan, kebenaran, dan kehidupan yang bermakna sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, situasi apa yang dialami tidak boleh menjadi alasan bagi ayah untuk melepaskan tanggung jawab mendidikan anak. Termasuk dan tidak terbatas apabila ia harus berjerih payah mencari nafkah, bekerja siang dan malam, dan tinggal jauh dari anak-anaknya. Sebab, "Ayah seorang yang benar akan bersoak-sorai; orang yang mempunyai anak yang bijak akan bersukacita karena dia" (Amsal 23:24).