Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

The Phantom of The Opera: Sebuah Revolusi Cinta

26 Mei 2016   17:21 Diperbarui: 26 Mei 2016   17:33 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malam Budaya SMA Kolese Loyola Semarang (dokpri)

Cinta tak terhenti di hadapan tembok menjulang dan tak akan membelok seiring arah angin. Cinta mengantarkan jiwa pada keutuhan asa dan realita dalam sebuah tekad untuk menggapainya. Cinta tak pernah berbohong pada jiwa dan nurani walau kata-kata kadang merekayasanya. Cinta tak akan mati oleh ketiadaan kesetaraan derajat dan tak akan musnah oleh batas usia dan kehancuran sekalipun. Cinta tak pernah mati. Itulah revolusi cinta yang berkobar dalam sanubari The Phantom of The Opera. WHY Martodikromo, Sutradara Opera, Semarang

Di Gedung Opera Paris melekat legenda Hantu Opera (The Phantom of The Opera) yang dipercayai banyak orang. Hantu itu berupa sesosok laki-laki kurus yang memakai mantel hitam berekor dan menggunakan separo topeng. Hantu itu digambarkan dengan begitu mengerikan.

“Sosoknya luar biasa kurus; mantel hitamnya menggantung bebas di badannya yang hanya tulang-tulang. Matanya menatap tajam ke depan, tidak bergerak, dan letaknya begitu dalam di rongga matanya sehingga kau nyaris tidak melihatnya. Kau hanya melihat dua buah lubang gelap, seperti yang biasa terlihat pada tengkorak. Kulitnya sekeras kulit beduk. Warnanya bukan putih, melainkan kuning kusam. Hidungnya begitu kecil sehingga kau tidak dapat melihatnya ketika memandangnya dari samping, dan ketiadaan hidung tersebut membuatnya kelihatan menyeramkan. Rambutnya berupa tiga atau empat gumpalan hitam yang terjurai di dahi dan di belakang telinga.”

Kehadiran hantu itu dijadikan lelucon bagi sebagian orang, sedangkan bagi kalangan yang pernah melihat atau memiliki pengalaman langsung dengannya, menyimpan kepercayaan tersendiri pada makhluk itu, termasuk soal balkon nomor 5 yang sudah jadi ‘milik’ Hantu Opera. Penulis buku ini, Gaston Leroux, meyakinkan pembaca bahwa hantu itu benar-benar ada. Namun ia bukan sesuatu yang mistis namun hantu itu adalah sosok manusia nyata yang berdarah-daging dan bernyawa.

Sebagai kisah klasik yang menarik, The Phantom of The Opera sudah diadaptasi ke berbagai bentuk, seperti film berjudul sama yang dibintangi oleh Gerard Butler, Emmy Rossum, dan Patrick Wilson pada tahun 2004. Ceritanya cukup klise yang berkutat tentang kisah cinta segitiga antara seorang soprano (penyanyi opera) bernama Christine Daaé yang dicintai oleh makhluk buruk rupa bergelar Hantu Opera dan seorang bangsawan muda bernama Viscount Roul de Chagny. Daaé yang awalnya hanya seorang soprano biasa, mendadak menjadi terkenal setelah berlatih bernyanyi dibimbing Malaikat Musik yang tak lain adalah Hantu Opera.

Drama misteri percintaan yang berlatar tahun 1864 layaknya sebuah kisah flashback tentang sesuatu yang misterius. Hal itu tampak dalam permulaan yang digambarkan dalam film (2004).

Di depan sebuah gedung tinggi nan megah namun terbengkalai, berhentilah sebuah kereta kuda. Pintu kereta dibuka, lalu menapaklah sebelah kaki terbungkus sepatu hitam mengkilat ke tanah. Kaki yang pasti milik seorang tua kaya yang sudah lemah. Tubuh lunglai pria tua itu didudukkan ke kursi roda, lalu sepasang pelayan berseragam mendorong kursi roda itu ke dalam gedung yang terbengkalai itu. Dalam nuansa hitam putih yang suram, satu-satunya tanda bahwa gedung itu masih berfungsi adalah spanduk besar yang menyatakan bahwa sebuah pelelangan tengah berlangsung di sana.

Di dalam gedung, si pria tua di kursi roda menangkap pandangan mata seorang wanita tua berbusana hitam lengkap dengan topi dan cadarnya, khas busana wanita di tahun 1919, tahun yang digambarkan saat pelelangan itu berlangsung. Keduanya pasti pernah saling mengenal, dan pelelangan itu nampaknya memiliki makna tersendiri bagi mereka. Kotak musik dengan boneka monyet yang bisa memainkan simbal nampaknya amat berkesan bagi sang pria--yang ternyata dipanggil Vicomte de Chagny, karena begitu memenangkan lelang, ia langsung memandangi kotak musik itu dengan seksama bak sebuah harta yang tak ternilai. Saat si pria hendak pergi, ternyata si kurator mengumumkan bahwa setelah ini mereka akan melelang lampu kristal yang dahulu pernah memancarkan cahayanya nan gemerlap ketika tergantung di tengah sebuah gedung Opera pada masa kejayaannya. Sebelum munculnya Phantom of the Opera...

Gedung yang terbengkalai itu memang dulunya Paris Opera House, dan dengan dibukanya tabir dan dinaikkannya lampu kristal diiringi musik yang dramatis, maka scene pun tiba-tiba berpindah dari kesuraman di tahun 1919 menuju ke gemerlapnya masa lampau--masa kejayaan Gedung Opera itu pada tahun 1870-an. Maka kisah The Phantom of The Opera yang sesungguhnya pun dimulai di titik ini. Sungguh sebuah pembukaan yang manis dalam film musikal adaptasi yang diambil dari kisah karya Gaston Leroux ini. Meski penonton yang belum membaca bukunya, pasti akan bertanya-tanya siapa sebenarnya pria tua dan wanita tua di adegan pembuka itu.

Selanjutnya, hal-hal aneh hadir mengiringi petualangan Chistine dan Roul yang ternyata telah saling mengenal sejak kecil. Mereka dikejar-kejar teror Hantu Opera yang tidak rela Chistine jatuh ke pelukan laki-laki lain. Kisah percintaan segitiga antara Christine dengan Viscount Raoul de Chagny dan Hantu Opera (Erik) menjadi fokus utama dalam kelanjutan ceritanya.

The Phantom Of The Opera benar-benar kisah yang menggugah. Kita akan dibawa dalam pesona opera dan kesenian tingkat tinggi, pada syair-syair anggun dari petikan drama yang digelar, dan pada eksotisme dan kemisteriusan gedung opera dengan lorong-lorong gelapnya. Kita juga akan diajak melihat bagaimana cinta dapat menyentuh, lalu mengubah sebuah kehidupan. Bagaimana cinta mampu menjadi benci karena ketiadaannya, namun cinta juga mampu mengasihani dan rela berkorban saat ia terpenuhi. Yang paling membuat kisah ini menarik adalah karena kisah yang serupa dongeng ini benar-benar nyata! Paling tidak, Gaston Leroux telah melakukan pekerjaan yang patut diacungi jempol untuk menyingkapkan kebenaran sejarah sekaligus menyajikan sebuah hiburan yang indah, mengharukan dan menginspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun