Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (56): Masa Lalu, Mimpi, dan Sunyi Senyap

23 Maret 2021   04:04 Diperbarui: 23 Maret 2021   06:27 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. florafe41.wordpress.com

Masa lalu menjadi masa sekarang dengan segala suka dan duka yang membekas. Ada kehidupan yang terbentuk dalam pergolakan rasa, logika, dan raga. Masa sekarang menjadi batu lompatan untuk masa yang akan datang dalam kristalisasi persepsi dan perasaan.

Hari sudah malam dan mataku terasa berat, sangat berat hingga aku terlelap seketika. Langit malamlah atap rumahku dan bintang-bintanglah lampu tidurku. Aku memang hidup sebatang kara hanya dengan buku peninggalan ibuku dan sepeda ontel dari ayahku sebagai teman. Buku yang aku dapat ketika kecil dulu dan membuatku bermimpi. Namun, mimpi itu hanyalah sebuah mimpi, tidak lebih tidak kurang, hanya bisa dilihat, sulit untuk diraih.

Aku terbangun di tengah desa, tapi aku tahu ini hanyalah sebuah mimpi. Akupun berdiri dan mulai berjalan menuju sebuah sungai. Aku tidak mengerti mengapa aku berjalan menuju sungai tersebut, namun aku tidak bisa menahan diri. Di seberang sungai tersebut, ada sebuah menara yang tidak terurus. Ilalang tumbuh subur dan binatang-binatang liar berlarian diantaranya. Hatiku berdebar keras karena hawa yang terasa mendirikan bulu kuduk. Suasana di menara tersebut sangatlah mengerikan, hingga aku mulai berpikir aku tidak bermimpi. Dari sebuah papan, aku tahu menara ini adalah peninggalan dari semacam revolusi 80 tahun yang lalu. Aku pun memberanikan diri masuk ke dalam menara tersebut.

Koran berserakan di mana-mana hingga lantai hampir tertutup seluruhnya. Suasana di dalam menara jauh lebih mengerikan dari apa yang terasa di luar. Di tembok terlihat coretan tinta yang membentuk tanda seperti tanda koma. Namun semakin dekat, terlihat jelas tinta itu bukanlah tinta biasa, melainkan noda darah. Tubuhku seketika terasa ringan seperti daun karena terkejut dan takutnya aku. Otakku mulai berputar dan berlalu-lalang seperti jalan raya mencoba mencerna semua ini. Hawa semakin dingin dan aku bertambah gelisah, memikirkan apa yang akan aku temui dalam menara ini.

Aku terus berjalan memasuki ruang utama menara lalu menuju sebuah tangga berbentuk lingkaran menuju lantai di atas. Rantai-rantai bergelantungan pada tangga dan warnanya yang kecoklatan menunjukkan usianya. Aku hanya terus berjalan tanpa tahu titik dari perjalanan ini. Aku terus berjalan, dan berjalan, dan berjalan seperti membuka halaman buku tanpa tahu apa yang kucari. Namun, semakin ke atas, langkahku makin berat dan nafasku menjadi makin berat. Mataku mulai berair membuat penglihatanku kabur dan dadaku semakin sesak. Aku melihat bayangan dua orang di depanku yang membuatku merasa hangat, namun juga kehilangan. Tiba-tiba muncullah bayangan orang lain yang kemudian melenyapkan bayangan dua orang sebelumnya. Aku pun kembali sendirian dengan air mata yang bercucuran deras bagai air terjun. Masa lalu berlarian di kepalaku mengingatkanku pada hari itu, saat semuanya hilang. Sebuah botol kenangan yang selalu terisi beribu penyesalan.

Aku terbangun dengan air mata membasahi pipiku dan sakit di hati seperti ada sebuah panah yang bersarang di sana. Panas matahari dan silir angin menerpa mukaku, namun gelap mimpi itu masih berdiam membuat pagi itu terasa seperti malam. Aku mengerti arti mimpi itu, sebuah zaman gelap peradaban manusia yang membuatku kehilangan semuanya. Sisi gelap manusia yang menelan dan menghancurkan diriku. Hari yang membuatku hidup sebatang kara karena sosok itu. Hatiku terasa sesak oleh beribu emosi dan meluap bagai gelas yang terlalu penuh. Kesedihan dan kemarahan berkecamuk dalam kepalaku membuat otakku terasa bagai kertas yang dirobek-robek. Aku mengambil kursi yang berada di dekatku dan melemparkannya, menghancurkannya. Balas dendam, itulah yang aku inginkan saat ini. Dia haruslah merasakan amukanku dan ini tentu akan terasa sangat manis. Benarkah itu jawabannya? SUNYI SENYAP.

*WHy-jaSS

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun