Pendahuluan
Dalam dunia modern yang serba cepat dan penuh tuntutan, konsep self-love atau “mencintai diri sendiri” menjadi wacana populer di berbagai ruang dari media sosial hingga diskursus psikologi populer. Namun, di balik popularitasnya, makna filosofis dari mencintai diri sendiri sering kali tereduksi menjadi narasi konsumtif dan individualistik. Padahal, dalam tradisi filsafat, seni mencintai diri telah lama menjadi refleksi mendalam tentang eksistensi, kebebasan, dan tanggung jawab manusia terhadap dirinya.
Tulisan ini mencoba menelusuri seni mencintai diri sendiri melalui kacamata tiga pemikir besar: Søren Kierkegaard, Erich Fromm, dan Friedrich Nietzsche, untuk melihat bagaimana self-love tidak berhenti pada penerimaan diri secara dangkal, tetapi sebagai jalan menuju keutuhan eksistensial dan etika kehidupan.
1. Cinta Diri dalam Perspektif Eksistensial Kierkegaard
Menurut Søren Kierkegaard (1813–1855), cinta sejati dimulai dari kesadaran diri di hadapan Tuhan. Dalam karyanya Works of Love (1847), Kierkegaard menulis bahwa manusia dipanggil untuk mencintai dirinya bukan dalam arti egoistik, melainkan sebagai bentuk penerimaan atas dirinya sebagai ciptaan yang bertanggung jawab secara spiritual:
“To love oneself in the right way and to love another in the right way are one and the same thing”
(Kierkegaard, Works of Love, 1847, p. 21).
Kierkegaard mengingatkan bahwa mencintai diri bukanlah tindakan menutup diri dari dunia, melainkan menemukan pusat eksistensi yang sejati yaitu diri yang sadar akan keterbatasan namun terbuka terhadap relasi dengan Yang Transenden. Dalam konteks ini, cinta diri menjadi bagian dari proses menjadi manusia yang otentik (becoming a self). Ia menuntut keberanian untuk menghadapi kecemasan, kesendirian, dan paradoks hidup sebagai jalan menuju kedewasaan spiritual.
2. Erich Fromm: Cinta Diri sebagai Tindakan Etis dan Kematangan Jiwa
Erich Fromm (1900–1980) dalam karyanya The Art of Loving (1956) menegaskan bahwa mencintai diri adalah syarat untuk mencintai orang lain. Fromm menolak pandangan umum yang menyamakan cinta diri dengan narsisisme. Bagi Fromm, cinta diri adalah bentuk penghargaan terhadap nilai manusiawi dalam diri sendiri, sejajar dengan penghargaan terhadap orang lain.