Mohon tunggu...
martin Loi
martin Loi Mohon Tunggu... Literasi

Menulis artikel ilmiah,opini dan puisi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seni Mencintai Diri Sendiri: Sebuah Perenungan Eksistensial dan Etis

4 Oktober 2025   19:13 Diperbarui: 4 Oktober 2025   19:13 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Dalam dunia modern yang serba cepat dan penuh tuntutan, konsep self-love atau “mencintai diri sendiri” menjadi wacana populer di berbagai ruang dari media sosial hingga diskursus psikologi populer. Namun, di balik popularitasnya, makna filosofis dari mencintai diri sendiri sering kali tereduksi menjadi narasi konsumtif dan individualistik. Padahal, dalam tradisi filsafat, seni mencintai diri telah lama menjadi refleksi mendalam tentang eksistensi, kebebasan, dan tanggung jawab manusia terhadap dirinya.

Tulisan ini mencoba menelusuri seni mencintai diri sendiri melalui kacamata tiga pemikir besar: Søren Kierkegaard, Erich Fromm, dan Friedrich Nietzsche, untuk melihat bagaimana self-love tidak berhenti pada penerimaan diri secara dangkal, tetapi sebagai jalan menuju keutuhan eksistensial dan etika kehidupan.

1. Cinta Diri dalam Perspektif Eksistensial Kierkegaard

Menurut Søren Kierkegaard (1813–1855), cinta sejati dimulai dari kesadaran diri di hadapan Tuhan. Dalam karyanya Works of Love (1847), Kierkegaard menulis bahwa manusia dipanggil untuk mencintai dirinya bukan dalam arti egoistik, melainkan sebagai bentuk penerimaan atas dirinya sebagai ciptaan yang bertanggung jawab secara spiritual:

“To love oneself in the right way and to love another in the right way are one and the same thing”

(Kierkegaard, Works of Love, 1847, p. 21).

Kierkegaard mengingatkan bahwa mencintai diri bukanlah tindakan menutup diri dari dunia, melainkan menemukan pusat eksistensi yang sejati  yaitu diri yang sadar akan keterbatasan namun terbuka terhadap relasi dengan Yang Transenden. Dalam konteks ini, cinta diri menjadi bagian dari proses menjadi manusia yang otentik (becoming a self). Ia menuntut keberanian untuk menghadapi kecemasan, kesendirian, dan paradoks hidup sebagai jalan menuju kedewasaan spiritual.

2. Erich Fromm: Cinta Diri sebagai Tindakan Etis dan Kematangan Jiwa

Erich Fromm (1900–1980) dalam karyanya The Art of Loving (1956) menegaskan bahwa mencintai diri adalah syarat untuk mencintai orang lain. Fromm menolak pandangan umum yang menyamakan cinta diri dengan narsisisme. Bagi Fromm, cinta diri adalah bentuk penghargaan terhadap nilai manusiawi dalam diri sendiri, sejajar dengan penghargaan terhadap orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun