Kita hidup dalam dunia yang terobsesi dengan kotak-kotak. KTP, paspor, suku, agama, status kewarganegaraan - itulah "Nomor 1" dalam kehidupan berbangsa. Namun ada yang lebih hakiki: ikatan batin, kenangan, cinta, rasa memiliki - itulah "Nomor 2" yang sering terabaikan.
Sayangnya, peradaban modern telah membalikkan hierarki ini. Kita mengagungkan kategorisasi administratif dan mengabaikan esensi kemanusiaan. Dampaknya terasa dalam setiap luka sejarah bangsa ini.
Luka yang Tertoreh oleh Tinta Peraturan
Lasem di Jawa Tengah menyimpan cerita pilu. Sejak abad ke-14, kapal-kapal Tiongkok telah berlabuh di sana. Para pedagang menikahi perempuan setempat dan melahirkan budaya Pecinan yang kaya. Mereka adalah bagian dari Nusantara sebelum Indonesia ada. Namun pada 1959, Peraturan Pemerintah Nomor 10 mengusir mereka dari desa-desa, memaksa komunitas yang telah berabad-akar ini menjadi "asing" di tanah sendiri.Â
Inilah wajah "Nomor 1" yang kejam. Kategorisasi kolonial "pribumi" versus "Timur Asing" diwarisi oleh republik muda. Soekarno, sang pemersatu, terjebak dalam dilema antara cita-cita persatuan dan tekanan politik praktis. Hasilnya adalah trauma kolektif yang masih menghantui hingga kini.
Etnis Tionghoa pun mengganti nama, menyembunyikan identitas, berusaha masuk dalam "kotak" yang diterima. Pengorbanan "Nomor 2" dilakukan demi bertahan dalam dunia "Nomor 1".
Ketika Lagu Kebangsaan Tak Lagi Menggetarkan Hati
Pertanyaan reflektif patut diajukan: Jika Anda warga negara Arab, tetapi mendengar lagu kebangsaan tak ada getaran, tak ada emosi, hambar---apakah Anda masih merasa memiliki kebangsaan Arab? Pertanyaan ini menyentuh hakikat kebangsaan yang sejati.
Kewarganegaraan ("Nomor 1") bisa diberikan negara, tetapi rasa kebangsaan ("Nomor 2") harus tumbuh dari pengakuan timbal balik, dari keadilan, dari perasaan dianggap bagian. Ketika negara terus-menerus menyakiti segolongan warganya, ikatan batin itu bisa putus. Lagu kebangsaan berubah dari simbol pemersatu menjadi pengingat luka.
Dari Madiun hingga Modernitas---Pelajaran yang Tak Pernah Dipelajari
Tragedi 1965-66 menunjukkan bagaimana "Nomor 1" yang dipaksakan bisa membunuh "Nomor 2". Manusia direduksi menjadi "komunis" atau "non-komunis", lalu menjadi korban kekerasan massal. Jumlah pastinya masih diperdebatkan, mulai dari puluhan ribu hingga mungkin jutaan.
Penelitian Geoffrey Robinson (2018) dan laporan Komnas HAM (2012) mengungkap pola sistematis dalam peristiwa tersebut. Namun yang lebih menyedihkan adalah bagaimana bangsa ini memilih untuk "move on" tanpa pernah benar-benar berdamai dengan masa lalunya. Korban dan keluarga mereka terus hidup dengan stigma, sementara pertanggungjawaban hukum tidak pernah ditegakkan.
Imagine---Lagu yang Lebih Revolusioner dari Semua Teori Politik
Di tengah keputusasaan akan kotak-kotak ini, The Beatles menawarkan jalan keluar melalui "Imagine". Lagu John Lennon itu mengajak kita membayangkan dunia tanpa negara, tanpa agama, tanpa keserakahan. Banyak yang menuduhnya naif, tetapi sebenarnya lagu ini adalah latihan mental untuk melepaskan diri dari kategorisasi dan kembali ke kemanusiaan dasar.
Hari ini di Palestina, kita menyaksikan kolonialisme modern dalam bentuknya paling telanjang. Israel---dengan klaim historis dan religiusnya ("Nomor 1")---secara sistematis menghancurkan rumah, keluarga, dan masa depan rakyat Palestina. Setiap bom yang dijatuhkan bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga menghancurkan kenangan, impian, dan ikatan batin---semua yang merupakan "Nomor 2".
Perlawanan terhebat rakyat Palestina justru bukan dengan senjata, melainkan dengan keteguhan hati untuk tetap mencintai, tetap berharap, tetap manusia di tengah upaya penjajahan yang mendegradasinya menjadi sekadar "target" atau "statistik".
Jejak Kaki Menuju Masa Depan yang Lebih Humanis
Masa depan bangsa ini tergantung pada kemampuan kita membalikkan hirarki yang terbalik tadi. Dalam politik, kita membutuhkan pemimpin yang melihat melampaui kategorisasi sempit. Dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu terus bertanya: Apakah kita melihat kotaknya, atau manusia di balik kotak itu?
Indonesia masih muda. Luka-lukanya masih segar, tetapi tidak harus menentukan masa depannya. Masih ada waktu untuk beralih dari kebangsaan berdasarkan KTP menuju kebangsaan berdasarkan getaran hati---entah dari mulut siapa pun itu keluar.
Kita bisa menjadi bangsa yang memahami bahwa Lasem sudah multikultural sebelum negara-bangsa modern ada. Bahwa getar kebangsaan tidak bisa dipaksakan dengan peraturan. Bahwa perdamaian tidak akan datang selama kita lebih setia pada kotak-kotak kita daripada pada sesama manusia.
Pada akhirnya, seperti diajarkan John Lennon, yang kita butuhkan hanyalah berani membayangkan---dan kemudian mewujudkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI