Mohon tunggu...
Martin Edy
Martin Edy Mohon Tunggu... Pekerja Konstruksi Telekomunikasi

Seperti kebanyakan orang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melampaui Kotak: Pencarian Jiwa Bangsa Di Tengah Luka Sejarah

29 September 2025   20:18 Diperbarui: 29 September 2025   20:18 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita hidup dalam dunia yang terobsesi dengan kotak-kotak. KTP, paspor, suku, agama, status kewarganegaraan - itulah "Nomor 1" dalam kehidupan berbangsa. Namun ada yang lebih hakiki: ikatan batin, kenangan, cinta, rasa memiliki - itulah "Nomor 2" yang sering terabaikan.

Sayangnya, peradaban modern telah membalikkan hierarki ini. Kita mengagungkan kategorisasi administratif dan mengabaikan esensi kemanusiaan. Dampaknya terasa dalam setiap luka sejarah bangsa ini.

Luka yang Tertoreh oleh Tinta Peraturan

Lasem di Jawa Tengah menyimpan cerita pilu. Sejak abad ke-14, kapal-kapal Tiongkok telah berlabuh di sana. Para pedagang menikahi perempuan setempat dan melahirkan budaya Pecinan yang kaya. Mereka adalah bagian dari Nusantara sebelum Indonesia ada. Namun pada 1959, Peraturan Pemerintah Nomor 10 mengusir mereka dari desa-desa, memaksa komunitas yang telah berabad-akar ini menjadi "asing" di tanah sendiri. 

Inilah wajah "Nomor 1" yang kejam. Kategorisasi kolonial "pribumi" versus "Timur Asing" diwarisi oleh republik muda. Soekarno, sang pemersatu, terjebak dalam dilema antara cita-cita persatuan dan tekanan politik praktis. Hasilnya adalah trauma kolektif yang masih menghantui hingga kini.

Etnis Tionghoa pun mengganti nama, menyembunyikan identitas, berusaha masuk dalam "kotak" yang diterima. Pengorbanan "Nomor 2" dilakukan demi bertahan dalam dunia "Nomor 1".

Ketika Lagu Kebangsaan Tak Lagi Menggetarkan Hati

Pertanyaan reflektif patut diajukan: Jika Anda warga negara Arab, tetapi mendengar lagu kebangsaan tak ada getaran, tak ada emosi, hambar---apakah Anda masih merasa memiliki kebangsaan Arab? Pertanyaan ini menyentuh hakikat kebangsaan yang sejati.

Kewarganegaraan ("Nomor 1") bisa diberikan negara, tetapi rasa kebangsaan ("Nomor 2") harus tumbuh dari pengakuan timbal balik, dari keadilan, dari perasaan dianggap bagian. Ketika negara terus-menerus menyakiti segolongan warganya, ikatan batin itu bisa putus. Lagu kebangsaan berubah dari simbol pemersatu menjadi pengingat luka.

Dari Madiun hingga Modernitas---Pelajaran yang Tak Pernah Dipelajari

Tragedi 1965-66 menunjukkan bagaimana "Nomor 1" yang dipaksakan bisa membunuh "Nomor 2". Manusia direduksi menjadi "komunis" atau "non-komunis", lalu menjadi korban kekerasan massal. Jumlah pastinya masih diperdebatkan, mulai dari puluhan ribu hingga mungkin jutaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun