Mohon tunggu...
Bimantara Adi
Bimantara Adi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pemerhati politik dan pemburu kuliner enak

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ujian Integritas Bagi Pemutus Perkara Bioremediasi

31 Mei 2013   19:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:44 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

…Yang menjadi Mahkota seorang Hakim adalah putusan dan pertimbangan hukumnya…

Peranan hakim sangat mulia, karena merupakan ujung tombak yang sangat menenentukan kewibawaan hukum dan menentukan tingkat kepecercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Terlebih dalam era reformasi saat ini tuntutan keadilan di tengah-tengah masyarakat sangat tinggi. Jika wibawa hukum runtuh dan tidak bisa dipercayai lagi, maka runtuh pula Negara. Selain Hakim, peran Jaksa dan Polisi pun menjadi sorotan, karena pertimbangan hakim merupakan buah hasil kerja mereka juga. Lebih-lebih jika terjadi kasus salah tangkap atau salah dakwa, hal ini semakin menunjukkan kurang profesionalnya kerja oknum penegak hukum. Sehingga seyogyanya ada fungsi kontrol baik dari lembaga resmi pemerintahan ataupun dari masyarakat sendiri untuk melakukan pengawasan terhadap tindak tanduk penegak hukum. Tulisan ini dibuat untuk merespon tuntutan fungsi kontrol tersebut.

Berandai-andai jika Alm. Bismar Siregar masih hidup, tentu dia akan sangat kecewa melihat cara kerja sebagian oknum penegak hukum. Karena banyak yang menyalah gunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan tertentu selain rasa memenuhi rasa keadilan itu sendiri. Setiap memutus perkara Alm Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya untuk mengetahui orang yang diadili jahat atau tidak, lalu baru mencari pasal hukum untuk mendasari keputusannya. Karena sejatinya, di ranah hukum Pidana, hakim mencari kebenaran Materiil, yakni kebenaran yang mendekati kebenaran Ilahi, karenanya peranan hakim haruslah secara aktif untuk mencermati dakwaan jaksa dan pembelaan terdakwa. Termasuk di antaranya mencermati respon masyarakat terhadap kasus yang ditangani.

Dalam dunia hukum ada adagium yang terkenal: “lebih baik melepaskan 1000 orang bersalah, dari pada menghukum 1 orang tak bersalah”. Di Indonesia sendiri, salah vonis bukan hal baru, tahun 1977 Sengkon dan Karta divonis bersalah untuk kasus pembunuhan dan setelah 3 tahun menjalani masa hukumannya, pada tahun 1981 akhirnya Mahkamah Agung membebaskan kedua orang tersebut setelah menemukan bukti kuat bahwa orang lainlah yang menjadi pelaku pembunuhan. Hal ini sangat melukai nurani keadilan, karena Sengkon dan Karta telah melewati masa-masa penderitaan yang amat sangat selama proses peradilan, tidak hanya disiksa fisik namun harta mereka pun habis untuk membiayai perkara.

Setelah 35 tahun sejak kasus Sengkon-Karta, tahun 2012 muncul kasus baru yang penulis khawatirkan mengulang kembali luka lama dunia peradilan kita. Kasus tersebut adalah perkara dugaa korupsi di proyek bioremediasi yang melibatkan perusahaan minyak PT Chevron Pacific Indonesia dan kontraktornya PT Green Planet dan PT Sumigita Jaya. Perkara bioremediasi ini cukup unik, karena ini merupakan perkara dengan dakwaan pencemaran lingkungan hidup namun dikemas dalam ranah pidana kasus korupsi. Keunikan yang lainnya, perkara ini melibatkan nama korporasi besar dan profil pekerjaan para terdakwa sebagai professional dan eksekutif industri migas. Hal ini menyiratkan suatu fakta, bahwa tidak hanya rakyat kecil seperti Sengkon-Karta yang bisa mengalami ketidakadilan hukum, namun hukum itu bisa tajam bagi siapa saja yang tidak mau ikut “cara adat” dalam menyelesaikan perkara.

Proses persidangan kasus Bioremediasi benar-benar membuat banyak pihak mengelus dada dan menguras energi dan emosi. Bahkan, jurnalis kompas mengatakan “Sidang bioremediasi Chevron, layaknya Tesis yang dibuat Ahli Lingkungan Hidup dan diuji oleh Sarjana Hukum”. Mungkin inilah pertama kalinya penanganan kasus korupsi mendapat kecaman dari berbagai macam lembaga, antara lain Kementerian Lingkungan Hidup, SKKMIGAS, ESDM, dan Komnas HAM. Tidak sampai disitu, kaukus ikatan alumni dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia, seperti UI, ITB, IPB, ITS turut memberikan perhatian. Tidak seperti lazimnya perkara korupsi, mereka semua bukannya mengecam para terdakwa yang duduk di kursi pesakitan, namun mengecam cara kerja oknum penegak hukum yang serampangan. Memakai logika sederhana, lembaga-lembaga dan kelompok masyarakat tersebut mempunyai alasan yang kuat untuk membela terdakwa, karena berani mempertaruhkan kredibilitasnya di depan masyarakat, karena terkesan “membela koruptor”.

Isi tulisan selanjutnya bermaksud untuk mencerahkan dan menyingkap tabir gelap proses penyidikan dan persidangan bioremediasi.

Latar Belakang Kasus

Menurut informasi yang penulis himpun dari media cetak dan elektronik, kasus ini berawal dari laporan seseorang yang bernama Edison Effendi (EE) ke kejaksaan agung mengenai dugaan proyek fiktif bioremediasi yang dilakukan oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan Kontraktornya. Akhirnya kasus ini bergulir bak bola salju dan dinyatakan ada 7 tersangka yang terdiri dari dari karyawan/ manajemen PT CPI: Rumbi, Kukuh, Widodo, Bachtiar, Alexia, dan dari pihak kontraktor Ricksy (PT Green Planet Indonesia, GPI) dan Herlan (PT Sumigita Jaya). Herlan dan Ricksy sudah "terlanjur" dijatuhkan vonis oleh Majelis Hakim Tipikor yang diketuai oleh Hakim Sudharmawatiningsih, hakim yang juga menjatuhkan vonis untuk Angelina Sondakh. Persidangan Rumbi, Kukuh, dan Widodo sampai saat tulisan ini dibuat sedang berlangsung dan dijadwalkan akan jatuh vonis awal Juni 2013. Bachtiar, salah seorang manajemen PT CPI, yang awalnya sudah menghirup udara bebas (karena dinyatakan tidak sah ditetapkan sebagai tersangka dalam putusan pra-peradilan), malah saat ini dijebloskan pihak Kejagung di rutan setelah dijemput paksa tanpa pendampingan penasihat hukum. Sedangkan Alexia saat ini masih di California, menunaikan tugasnya sebagai General Manager di Chevron USA dan kebetulan juga sedang mendampingi sang suami yang sedang sakit dan membutuhkan perhatian intensif. Khusus untuk Ibu Alexia, berita yang beredar di media sangat miris, karena menggambarkan seolah-olah yang bersangkutan berusaha kabur untuk menghindari kasus ini. Padahal faktanya, Alexia mendapatkan promosi jabatan jauh sebelum kasus bioremediasi ini bergulir. Suatu ironi, alih-alih diapresiasi karena berprestasi di negeri Paman Sam, malah oleh oknum penegak hukum dicoreng citranya dan dinyatakan sebagai tersangka korupsi. Berita terakhir, Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan akan tetap melanjutkan berkas Alexia dan Bahtiar ke pengadilan Tipikor.

Saksi Ahli Sekaligus Menjadi Saksi Fakta, tidak kompeten dan memiliki konflik kepentingan ?

Sudah menjadi fakta peradilan bahwa saksi ahli yang digadang oleh penyidik Kejagung, Edison Effendi, memiliki konflik kepentingan. Karena sesuai fakta persidangan yang ditunjukkan tim Penasihat Hukum (PH), Sdr EE pernah menjadi perwakilan beberapa Perusahaan untuk mengikuti tender pengadaan barang/ jasa di PT CPI. Dalam proses lelang, perusahaan yang diwakili EE berulang kali kalah, hal yang semakin menguatkan dugaan sakit hati menjadi dasar bergulirnya perkara ini. Menurut kesaksian Ahli hukum pidana dari UGM, Eddie OS Hiraej, pendapat saksi ahli yang punya konflik kepentingan tidak boleh digunakan sebagai fakta persidangan. Tapi pendapat ahli ini tidak diperhitungkan oleh Ketua Majelis Hakim.

Keterangannya Sdr EE sebagai “ahli” juga bertentangan dengan isi Kepmen LH No 128 Tahun 2003 yang menjadi dasar dan panduan Perusahaan untuk pelaksanaan bioremediasi. Jadi yang harus diikuti oleh PT CPI itu peraturan ala Edison Effendi atau Kepmen LH?

Keterangan Sdr EE sebagai saksi ahli menjadi episentrum dari isi dakwaan jaksa. Lalu seberapa “ahli” Sdr EE ini sebenarnya? Di luar persidangan, para ahli bioremediasi dari berbagai universitas yang berkumpul di ITB menyatakan tidak mengenal EE sebagai ahli bioremediasi. Bahkan para ahli bioremediasi mengkritik keras, metode pengambilan sampling, lokasi sampling dan pengetesan sampling yang tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang baku. Terlebih lagi cara serampangan yang dilakukan EE tersebut menjadi dasar dakwaan untuk menentukan nasib hidup terdakwa di peradilan pidana.

Selain Sdr EE ada juga 2 saksi ahli lainnya, yang dikecam adalah fakta keterangan di BAP dari saksi ahli berbeda orang tersebut, sama isi dan titik komanya. Hasil “copy-paste” ini pun menjadi sorotan penasihat hukum untuk dipertimbangkan majelis hakim. Namun sekali lagi, hal itu tidak dipertimbangkan ketika menjatuhkan vonis kepada Herlan dan Ricksy.

Kasus Perdata Yang Dibawa Ke Ranah Pidana

PT CPI adalah kontraktor migas yang bekerja di bawah kontrak bagi hasil/PSC: Production Sharing Contract. Produksi minyak akan dibagi dengan jumlah prosentase tertentu yang disepakati antara Negara dan kontraktor migas. Seluruh biaya produksi yang dikeluarkan menggunakan dana dari kontraktor migas dan akan diganti melalui mekanisme cost recovery. SKKMIGAS adalah wakil pemerintah yang bertugas sebagai regulator pelaksanaan PSC. Karena seluruh aktivitas yang dilakukan atas dasar kontrak PSC, sejak awal kasus ini bergulir, PT CPI sendiri sudah berulang kali mengutarakan agar kasus ini dibawa dalam ranah perdata bukan pidana yang bisa mengkriminalkan para karyawannya. Namun tidak diindahkan penegak hukum

Dakwaan yang menyatakan ada kerugian Negara pun dibantah SKKMIGAS selaku regulator. Menurut konsep PSC, jika ada selisih jumlah cost recovery yang harusnya dibayarkan, maka selisih tersebut bisa diselesaikan dengan konsep under atau over lifting. Penyelesaian perselisihan ini masih dapat dilakukan sampai masa kontrak habis. Penyelesaian dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah bagi hasil untuk kontraktor, jika diduga ada proyek yang merugikan Negara. Untuk kasus bioremediasi ini sendiri, karena sudah masuk peradilan, maka cost recovery yang diajukan PT CPI telah ditangguhkan oleh SKKMIGAS. Sehingga dasar kerugian Negara pun dipertanyakan.

Andaikatapun ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh PT CPI, maka hal tersebut harus dibawa ke ranah PERDATA bukan PIDANA Yang bertanggung jawab bukan lagi KARYAWAN melainkan pimpinan tertinggi di perusahaan tersebut. Ditambah lagi, tidak ditemukan satu bukti pun yang menunjukkan ada niat jahat dari tersangka dengan maksud memperkaya diri sendiri. Hal terakhir ini merupakan syarat mutlak untuk menjadikan perkara perdata menjadi pidana.

Hakim diduga tidak imparsial dan melanggar HAM terdakwa

Bagi yang mengikuti langsung persidangan bioremediasi saya rasa akan sepakat, bahwa keberpihakan hakim terhadap jaksa terasa sangat menonjol. Terlihat dari betapa galaknya hakim menghardik penasihat hukum untuk kesalahan-kesalahan minor dan tidak melakukan koreksi dengan skala kegalakan yang sama terhadap jaksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun