Mohon tunggu...
marsya martia
marsya martia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kelompok Perempuan Era Orde Baru dan Reformasi

6 April 2019   14:50 Diperbarui: 6 April 2019   15:03 4217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tetapi, rekognisi tersebut masih bersifat kuantitatif. Sebab, partisipasi perempuan dimaknai sebatas kehadiran tanpa disertai redistribusi power. Redistribusi power yang seharusnya ialah perempuan mempunyai power untuk mewujudkan pemenuhan kepentingan politik perempuannya. Rekognisi tanpa adanya redistribusi power dan kesejahteraan, belum bermakna sebagai reformasi yang substansial. Karena ini jalan menuju keadilan bagi kelompok perempuan masih berupa harapan.

Perjuangan kelompok ataupun kaum perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum mampu menghapus diskrimasi dan ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh karena itu, perjuangan kelompok perempuan tidak dapat dilakukan oleh kelompok perempuan yang sudah hadir saja, melainkan kelompok perempuan harus bisa merangkul perempuan lainnya dalam tingakatan sosial manapun dan melakukan kerjasama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender yang adil.

Selain itu, perjuangan tersebut memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, dan berkesinambungan. Agar perjuangan tersebut bisa terorganisir secara baik dengan adanya arus perubahan yang bergerak secara dinamis. Disamping itu, perjuangan tersebut memerlukan komitmen bersama dari para pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum cendekiawan, beserta seluruh elemen masyarakat dalam rangka mengeliminasi berbagai kendala kultural, struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di semua lini kehidupan.

Kesimpulan

Masa transisi menuju Orde Baru merupakan saat yang sulit bagi pergerakan perempuan di Indonesia. Organisasi perempuan dianggap sebagai salah satu elemen yang harus diawasi dan dibelenggu atas nama kepentingan negara. Salah satu contoh nyata adalah gerakan penghancuran hingga ke akar-akarnya yang dilakukan terhadap Gerwani pada tahun 1965.

Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan disentralisasi oleh negara di bidang "keperempuanan". Perempuan berperan sebagai istri pendamping suami, pendidik anak dan pembina generasi muda, serta pengatur ekonomi rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di luar rumah, hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, kiprah perempuan di luar rumah juga difokuskan pada aktivitas sosial dan penyumbang tenaga pada masyarakat. Hal tersebut tentu melanggengkan budaya patriarki.


Kelompok perempuan ketika masa Orde Baru tidak bisa melakukan perubahan, mereka bukanlah agen yang dapat mengetahui gugus dari struktur yang bisa mereka masuki dan rubah, gugus tersebut antara lain gugus signifikansi, dominasi, dan legitimasi. Kelompok perempuan tidak seperti kumpulan birokrat ataupun militer yang bisa membawa perubahan ke dalam struktur. Kelompok perempuan tidak bisa melakukan dominasi penguasaan dalam konteks politik maupun ekonomi ataupun mendapat legitimasi dalam tatanan hukum, karena adanya gugus signifikansi, dominasi, dan legitimasi yang miliki oleh pemerintah pada saat itu.

Adanya penundukan atas struktur sosial dan politik dengan menggunakan basis superstruktur mempunyai kepentingan langsung untuk menyingkirkan musuh-musuh politik yang berbahaya bagi kelas penguasa. Akan tetapi setelah memasuki reformasi, gerakan perempuan sudah keluar dari aturan yang membelenggu dan dogma yang dibuat oleh Orde Baru. Hal ini ditandai dengan semakin banyak organisasi perempuan yang berdiri dan melakukan kegiatannya.

Walaupun begitu, dengan hadirnya reformasi yang telah mengubah struktur sosial-politik, kelompok perempuan masih menjadi aktor, tetapi menjadi aktor yang berubah dari pasif menjadi aktif. Walaupun adanya tuntutan dari kelompok perempuan yang telah mengeluarkan kebijakan afirmatif, perjuangan perempuan masih berlika-liku untuk mencapai wilayah publik dan masih disepelekan untuk membawa perubahan kepada struktur sosial-politik yang ada.

Daftar Pustaka

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun