Mohon tunggu...
marsya martia
marsya martia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kelompok Perempuan Era Orde Baru dan Reformasi

6 April 2019   14:50 Diperbarui: 6 April 2019   15:03 4217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Latar Belakang

Dua puluh tahun Indonesia sudah lepas dari cengkraman rezim Orde Baru, namun keterwakilan perempuan dan permasalahan kesetaraan gender masih belum merata secara holistik. Rendahnya partisipasi ataupun rendahnya kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh kaum perempuan pun dilarang ketika masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Yang menyebabkan perempuan mengalami pendomestikan politik dan tersubordinasi dalam sistem politik yang patriarki.

Kemudian, diskriminasi sistematis masih terjadi dan kebijakan afirmatif yang belum merata. Dalam konstruksi budaya yang di bentuk dalam masyarakat untuk permasalahan gender pun, perempuan selalu dicap menempati posisi kedua setelah laki-laki. Distribusi dalam pekerjaan pun berbasis jenis kelamin telah menandai adanya stratifikasi gender yang membuat perempuan hanya berkutik di wilayah domestik saja, sedangkan laki-laki di wilayah publik. Lalu, apakah perempuan tidak boleh menduduki tatanan publik ataupun berorganisasi untuk menyuarakan pendapatnya?

Realita yang terjadi ialah organisasi perempuan menurun secara kuantitatif dan kualitatif. Banyak organisasi perempuan di era Orde Lama dibubarkan oleh rezim karena dianggap membahayakan stabilitas pemerintah dan tidak menguntungkan bagi pemerintah. Kemudian, untuk mengganti dan mewujudkan kepentingannya dalam melanggengkan kekuasaan, pemerintah membuat wadah baru untuk perempuan dengan menciptakan organisasi Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Orientasi organisasi ini hanya untuk formalitas belaka, ketimbang  membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik ataupun mengkritik kebijakan pemerintah. Sistem politik Orde Baru di desain sedimikian rupa agar gerakan perempuan terkondisikan dalam kesadaran palsu. Pemerintah Orde Baru menggunakan instrumen lembaga negara untuk memasukan nilai dan budaya patriarki pada perempuan, hal ini agar perempuan menjauhi aktivitas politik yang bisa membahayakan rezim.

Setelah Soeharto dengan Orde Barunya turun setelah melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun, reformasi memberikan harapan baru terhadap pergerakan atau organisasi wanita yang fungsinya telah direduksi ketika Orde Baru. Di masa reformasi, gerakan dan kumpulan kelompok perempuan lambat laun hadir di permukaan untuk membangkitkan kembali semangat berorganisasi dan berpolitik untuk mewujudkan kesetaraan yang adil. Lambat laun pasca Orde Baru, organisasi mulai berusaha keluar dari lubang dogma yang dibuat oleh Orde Baru.

Analisis dan Pembahasan

Jatuhnya Indonsia ke rezim soeharto merupakan negara dengan konsep era Orde Baru. Negara Orde Baru adalah sebuah negara yang melanggengkan konsep dwifungsi militer yang bertujuan untuk menopang dan melindungi negara, jika perlu hingga mengorbankan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara dan militer tersebut. Masa periode Orde Baru merupakan masa paling banyak disoroti sebagai periode yang paling tinggi frekuensinya dalam pelanggaran hak asasi manusia dan lunturnya nilai demokrasi.

Dengan kenyataan bahwa penyimpangan tersebut tidak hanya terjadi oleh kaum laki-laki saja, tetapi dalam kenyataannya perempuan juga mengalami sebuah ketidakadilan yang dilakukan di era Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dengan bentuk kekerasan ataupun ketidakadilan yang dialami oleh perempuan di dalam rumah tangga sebagai wilayah privat sampai kepada kekerasan yang dipresentasikan negara ke dalam wilayah publik. Untuk mewujudkan negara bebas dari ancaman idelogi kiri, maka muncul kebijakan tumpas kelor. Semua organisasi yang dicap "keluarga komunis", salah satunya organisasi perempuan Gerwani yang telah disiksa dan dikalahkan.

Upaya itu mula-mula dilkukan dengan meniadakan sebuah organisasi yang terkait dengan G30S. Sambil terus mencitrakan dan mengkampanyekan bahwa  perempuan anggota Gerwani ialah kumpulan perempuan cantik tetapi kejam dan amoral. Perempuan yang memiliki suara atau pandangan politik dianggap perempuan banal. Hal itu yang menyurutkan aktivisme yang dilakukan oleh kaum perempuan. Padahal pada masa pemerintahan sebelumnya gerakan perempuan yang diwadahi dengan hadirnya kelompok perempuan sangat berkembang pesat secara baik. Kelompok perempuan pada saat itu sangat homogen, ada yang berafiliasi dengan partai politik, ada yang karena kesamaan agama, maupun kelompok independen yang mempunyai tujuan politik.

Perkembangan ini ditandainya dengan terwujudnya sebuah organisasi wanit PSSI, Muslimat (organisasi perempuan partai masyumi), wanita demokrat (organisasi perempuan PNI), dan Aisyiah (organisasi perempuan muhamadiyah). Kemudian, untuk organisasi gerakan perempuan independen ialah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun