Mohon tunggu...
marsya martia
marsya martia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partisipasi dan Representasi Politik Perempuan Demi Mewujudkan Kesetaraan Gender

1 Desember 2018   22:26 Diperbarui: 1 Desember 2018   22:37 2177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

            Pemahaman mengenai kesetaraan gender harus terus dilakukan. Khususnya oleh kaum muda perempuan, yang memiliki kesempatan untuk menjadi tulang punggung perubahan politik yang lebih baik sekaligus menjadi elemen kunci memanifestasikan kesetaraan gender dengan meninggalkan penindasan berbasis gender. Survei yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan sebelum terjadi pada pemilu  tahun 2009, mengungkapkan masih adanya terjadi intimidasi dan diskriminasi yang berdasarkan gender kepada calon  legislatif perempuan.[9] Karena masih banyak orang berpikir bahwasanya perempuan tidak cocok memegang kedudukan tinggi di bidang politik disebabkan  kurangnya pelatihan dan pendidikan yang bersangkut-paut. Maka dari itu partai politik memberikan pertimbangan terhadap subordinasi perempuan dengan alasan tidak memiliki kapasitas dalam bidang politik seperti kurangnya penalaran, kemandirian, dan waktu di kalangan perempuan.

 

Dunia politik memang selalu dihubungkan dengan ranah  publik yang relatif  hanya untuk laki-laki dan perempuan hanya berada di ranah domestik, mengingat akar budaya mayoritas di Indonesia masih kental dan  kuat dengan patriarki. Budaya patriarki ini secara tidak sadar membentuk perbedaan perempuan dan laki-laki dengan perbedaan perilaku, otoritas, dan statusnya di mata masyarakat yang kemudian membentuk hierarki gender. Hal tersebutlah yang masih terikat dengan masyarakat kita. Patriarki tersebut membangun stigma yang merugikan pihak perempuan untuk terjun dan aktif berkarier di ranah politik dan menjadi pemimpin. Perempuan dianggap individu yang sangat bergantung, lembut, tidak agresif dan berdaya serta hanya mengandalkan naluri. Tidak seperti laki-laki dengan individu yang memimpin, displin, agresif dan lain sebagainya.[10] Maka dari itu, pemerintah harus memberikan ruang yang luas dan ramah bagi kaum perempuan agar bisa bergerak dalam dunia politik, termasuk menjadi pemimpin.

 

            Sebagai  negara hukum yang menerapkan sistem demokrasi, tentunya Indonesia menjunjung tinggi kesempatan yang sama dalam segala hal termasuk menjadi pemimpin ataupun berpartisipasi di dalam kegiatan politik. Hal itu terlukis dari hadirnya UU Pemilu No 12 Tahun 2003 tentang Parpol pasal 65 ayat (1) yang memperjuangkan tindakan afirmatif dengan menyatakan bahwa setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon legislatif seperti DPR, DPRD provinsi dan kota untuk setiap wilayah pemilihan dengan mengamati keterwakilan perempuan 30% serendah-rendahnya. Upaya ini dipandang sebagai langkah awal positif bagi perempuan agar bisa mengambil peran dan ikut serta berpartisipasi aktif di ranah publik. Walaupun pasal tersebut tidak melahirkan sanksi bagi partai politik yang tidak menjalankannya, tetapi pasal ini berpengaruh dengan adanya peningkatan jaminan representasi perempuan dalam bidang politik.[11] Sehingga eksistensi perempuan  tidak dipandang sebelah mata lagi dan meningkat dari objek politik menjadi subjek politik. Akhirnya, posisi perempuan dapat dibangun dengan perubahan yang progresif melalui aktivitas para aktivis perempuan dalam meningkatkan gerakan perempuan dalam kegiatan politik untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan 30%.


  

Gerakan Perempuan Memperjuangkan Keterwakilan Perempuan 30%

 

            Gerakan yang mendorong kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki merupakan salah satu gerakan feminisme. Gerakan ini terus berkembang seiring berjalannya waktu. Gerakan ini juga diperjuangkan di Indonesia, demi adanya keterwakilan perempuan di dalam kegiatan politik. Keterwakilan ini mendapatkan titik cerah ketika hadirnya kuota 30% untuk perempuan dalam kursi parlemen.  Kuota 30% peremuan merupakan sebuah tindakan afirmatif yang bertujuan untuk menambah jumlah perempuan di parlemen, maupun di berbagai jabatan ranah publik. Gerakan ini memperjuangkan pertambahan kuantitas perempuan di ranah publik untuk melakukan kegiatan politik. Hal ini diperjuangkan karena realitasnya partisipasi perempuan Indonesia di ranah politik dan tingkat representasi perempuan dalam  lembaga politik formal di nasional atau lokal masih lemah. Kondisi ini dipercaya oleh para aktivis perempuan akan berdampak langsung pada kebijakan negara karena keterwakilan yang masih rendah. Hal ini mengakibatkan keputusan atau kebijakan tidak mengakomodir kepentingan perempuan. Representasi perempuan dalam bidang politik diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 dengan menghadirkan kuota minimal 30% untuk perempuan di parlemen dan munculnya Pasal 65 UU Pemilu. UU ini kemudian diperbaharui dengan hadirnya UU Pemilu No. 10 Tahun 2008. UU ini mengharuskan partai politik agar memenuhi kuota yang sudah ditetapkan dalam UU tersebut, yaitu 30% untuk mencalonkan kandidat perempuan dalam legislatif. Dan UU ini diperkuat lagi dengan hadirnya regulasi UU No. 2 Tahun 2008 mengenai parpol. Kuota 30% untuk perempuan menjadi salah satu prasyarat ataupun ketentuan dalam kepengurusan partai politik.[12]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun