Mohon tunggu...
Dazo Apps
Dazo Apps Mohon Tunggu... SaaS Service

Bantu UMKM dalam mengelola bisnis secara otomatis, dengan fitur Order Management System, AI Chat Assistant, dan Toko Digital tangani pesanan lebih cepat, kelola chat pelanggan, dan buat tampilan toko digital sesuai dengan kebutuhan bisnis!

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Mengapa Produk Jadi Dead Stock Padahal Sempat Laku?

9 Oktober 2025   17:00 Diperbarui: 9 Oktober 2025   10:59 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: seseorang sedang memegang kotak paket (Sumber: Dazo.id)

Pernah mengalami situasi dimana sebuah produk sempat jadi "primadona", tapi tiba-tiba berhenti laku dan akhirnya menumpuk di gudang? Fenomena ini sering dialami banyak pelaku usaha  dari toko online kecil hingga brand besar. Produk yang tadinya laris bisa tiba-tiba berubah jadi dead stock, alias stok mati yang tidak berputar.

Masalahnya, dead stock bukan sekadar produk yang tidak terjual. Ia adalah modal yang membeku. Setiap item yang menumpuk di rak berarti uang Anda tidak berputar  dan jika dibiarkan, bisa menekan arus kas bisnis. Lalu, kenapa hal ini bisa terjadi? Mari kita bahas lebih dalam.

Terjebak Tren Musiman

Banyak produk mengalami lonjakan penjualan karena momen tertentu  misalnya tren TikTok, event tahunan, atau viral singkat. Ketika tren itu lewat, permintaan pun ikut merosot. Menurut laporan Google Trends 2024, lebih dari 60% produk yang viral online hanya bertahan kurang dari tiga bulan. Jika pelaku usaha tidak cepat membaca perubahan tren, stok yang awalnya disiapkan untuk memenuhi lonjakan permintaan bisa berubah jadi tumpukan barang yang tidak laku. Solusinya? pantau data penjualan dan perilaku pelanggan secara berkala. Jangan membeli stok besar hanya karena tren sedang naik. Uji dulu permintaan pasar, lalu lakukan restock  bertahap.

Tidak Ada Pembaruan atau Inovasi Produk

Produk yang sama, dengan kemasan dan nilai jual yang sama, lama-kelamaan akan kehilangan daya tarik. Konsumen mudah bosan. Bahkan merek besar seperti Coca-Cola atau Indomie pun rutin melakukan inovasi entah dari rasa baru, desain kemasan, atau kampanye kreatif. Jika UMKM tidak menyesuaikan diri dengan perubahan preferensi pelanggan, maka produk yang dulu diminati bisa kehilangan relevansinya. Coba tanyakan pada pelanggan setia: apa yang mereka ingin lihat dari produk Anda ke depan? Data sekecil apapun dari pelanggan bisa jadi inspirasi inovasi yang membuat produk tetap hidup di pasar.

Salah Prediksi Permintaan

Kesalahan umum lain adalah perencanaan stok yang tidak akurat. Misalnya, karena produk sempat laris, pelaku usaha langsung menambah produksi besar-besaran tanpa memantau penurunan penjualan harian. Akibatnya, stok menumpuk ketika minat pasar turun. Sebuah studi dari Harvard Business School menyebutkan bahwa 30% dari total stok ritel global berubah menjadi dead stock setiap tahun, dengan nilai kerugian mencapai triliunan dolar. Angka ini bisa ditekan jika bisnis memiliki sistem pemantauan penjualan real-time.

Kurang Agresif di Pemasaran Ulang

Kadang masalah bukan di produknya, tapi di komunikasi pasarnya. Produk yang dulu dikenal bisa "tenggelam" karena tidak lagi disorot di kanal promosi. Ketika bisnis lebih sibuk meluncurkan produk baru, produk lama jadi kehilangan momentum. Padahal, pemasaran ulang (re-marketing) bisa menghidupkan kembali penjualan. Dengan strategi seperti flash sale, bundling, atau penawaran eksklusif ke pelanggan lama, produk lama bisa kembali menarik perhatian tanpa harus didiskon besar-besaran.

Data Penjualan Tidak Pernah Dievaluasi

Inilah akar dari sebagian besar masalah dead stock. Banyak bisnis masih mengandalkan intuisi atau perkiraan kasar. Padahal, keputusan berbasis data bisa mencegah penumpukan stok sejak awal. Data sederhana seperti produk paling sering dikembalikan, waktu pembelian paling ramai, atau pelanggan yang sering membeli produk tertentu dapat membantu Anda mengatur strategi restock lebih cermat. Menurut McKinsey & Company, perusahaan yang menggunakan data secara aktif dalam proses inventory management bisa mengurangi risiko kelebihan stok hingga 35%.

Sistem Order yang Masih Manual

Ketika bisnis berkembang dan order datang dari banyak channel marketplace, website, dan WhatsApp proses manual bisa menimbulkan kekacauan data. Order yang tidak tercatat, stok yang belum diperbarui, hingga kesalahan input bisa membuat bisnis salah membaca kondisi gudang. Inilah sebabnya banyak UMKM kini mulai beralih ke Order Management System (OMS). Dengan sistem ini, semua pesanan dari berbagai channel bisa disatukan, stok diperbarui otomatis, dan laporan penjualan tersedia secara real-time.

Kesimpulan

Dead stock bukan akhir dari perjalanan bisnis, tapi bisa jadi pengingat berharga tentang pentingnya efisiensi, inovasi, dan pemanfaatan data. Produk bisa berhenti laku karena banyak alasan, tapi hampir semuanya bisa diantisipasi dengan pengelolaan stok dan proses pemantauan yang lebih cerdas.

Jika Anda ingin mencegah masalah ini sejak awal, Dazo menawarkan solusi lewat aplikasi Order Management System (OMS) yang membantu UMKM mengelola seluruh proses pesanan  dari penerimaan hingga pengiriman  secara otomatis dan terintegrasi. Dengan sistem ini, bisnis Anda bisa lebih efisien, akurat, dan siap menghadapi perubahan pasar tanpa takut stok menumpuk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun