Setelah mengatakan itu, tubuh gue didorong dengan kencang oleh Kak Tyco hingga jatuh ke lantai.
"Lo mau jadi apa gak sekolah?" ucapnya marah. "Mau jadi gembel? Pemulung? Udah cacat, gak ada pendidikan!" tambahnya.
Gue membelalakkan mata mendengarnya. Bicara apa Kak Tyco? Gue yang sakit hati mendapat cemoohan dari kakak sendiri, buru-buru bangkit untuk meninggalkannya ke kamar. Sebelum itu, gue mencari tongkat penunjuk jalan yang tadi sempat terlempar ketika gue jatuh. Udah meraba lantai ke sana ke sini, gue gak menemukan tongkat itu. Ternyata benda itu diambil oleh Kak Tyco.
"Tongkat ini gue ambil, lo gak boleh pakai ini lagi!" katanya.
Gue lalu berjalan meninggalkan Kak Tyco menuju kamar dengan meraba-raba sekeliling tanpa menjawab ucapannya. Tangan gue sempat gak sengaja mengenai tubuh Kak Tyco ketika mungkin gue berjalan di samping atau depannya.
"Awas, depan lo ada bangku!"
Gue gak mengindahkan peringatan dari kakak durjana gue itu dan memilih terus berjalan. Namun, ternyata benar, lima langkah di depan gue ada bangku. Gue pun jatuh dengan rasa malu. Malu? Enggak! Ini bukan salah gue karena gak mendengarkan ucapannya. Tapi ini salah dia karena mengambil tongkat gue!
"Hahaha... Dibilangin sama kakak gak nurut sih!" Kak Tyco tertawa melihat gue yang jatuh barusan.
"Berisik!" balas gue kesal, lalu melanjutkan jalan menuju kamar dengan berpegangan dinding.
Gue memutuskan untuk gak keluar kamar setelah kejadian ini sampai ketiduran. Setelah bangun, rasa lapar dan haus menyerang gue. Gue benar-benar haus, lapar juga. Ludah gue bahkan gak bisa ditelan lagi karena udah habis, dan perut gue bunyi terus minta diisi makanan. Jika gue keluar dari kamar dan meminta Kak Tyco buatin makanan, dia pasti ngetawain gue dan sok-sok'an jadi pahlawan karena gue gak bisa melakukan apapun tanpa bantuannya.
Beruntungnya, gak lama kemudian, Kak Tyco datang ke kamar gue, mengetuk-etuk pintu sambil berkata. "Yo, buka pintunya! Lo gak mau makan? Udah malem nih... Emang lo gak lapar?"