Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hukuman Fisik di Sekolah, Warisan yang tak Kunjung Usai

16 Oktober 2025   08:02 Diperbarui: 16 Oktober 2025   08:02 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala Sekolah SMA 1 Cimarga (Sindo.news)

Para pembela hukuman fisik sering kali bernostalgia: "Zaman kami dulu, guru galak itu mendidik." Tapi mereka lupa, dulu pun banyak anak yang diam-diam trauma, takut sekolah, atau bahkan membenci belajar. Kekerasan mungkin menciptakan ketertiban, tapi bukan kesadaran.

Seorang guru sejatinya bukan algojo moral, melainkan penuntun akal dan hati. Tugasnya bukan memberi rasa sakit agar anak jera, tetapi memberi pengertian agar anak sadar. Jika murid merokok, maka yang dibutuhkan adalah pendekatan pembinaan---menjelaskan bahaya, mencari sebab, bahkan melibatkan konselor. Tamparan hanya mematikan komunikasi, bukan kesalahan.

Pakar pendidikan Finlandia, Pasi Sahlberg, pernah berkata, "Guru yang baik bukan yang ditakuti, tapi yang dirindukan." Pendidikan modern tidak mengenal tamparan, hanya ketegasan yang berakar pada kasih sayang dan profesionalisme.

Negara Harus Hadir: Antara Disiplin dan Kemanusiaan

Kita memang tidak bisa menutup mata: sekolah membutuhkan disiplin. Tapi disiplin tanpa empati hanya menghasilkan kepatuhan semu.
Dalam kasus Cimarga, mungkin pemecatan total kepala sekolah bukan solusi yang bijak. Namun, sanksi dan pelatihan ulang bagi pendidik sangat penting untuk menunjukkan bahwa kekerasan, sekecil apa pun, tidak boleh ditoleransi.

Sementara untuk kasus-kasus yang sudah masuk kategori penyiksaan---murid dipukul, dijewer, ditendang---proses hukum wajib dijalankan. Tidak demi balas dendam, tapi demi mengingatkan seluruh pendidik bahwa mereka bukan penegak hukum, melainkan penumbuh nilai.

Kementerian Pendidikan seharusnya tidak hanya bicara soal kurikulum Merdeka Belajar, tetapi juga Merdeka dari Kekerasan. Karena tidak ada kebebasan berpikir di kepala yang takut akan tamparan.

Menutup Rantai Kekerasan

Mahatma Gandhi pernah berkata, "Kekerasan adalah senjata mereka yang lemah." Maka, jika pendidikan masih mengandalkan kekerasan, barangkali kita sedang melahirkan generasi lemah---bukan lemah otak, tapi lemah jiwa.

Kini waktunya berhenti mengatakan "zaman dulu juga begitu." Karena yang dulu dianggap biasa, kini harus diakhiri. Jika guru menampar murid dan masyarakat membela, maka kita sedang mengajari bahwa kekerasan itu wajar. Jika orang tua membiarkan, maka kita sedang menyuburkan kebisuan di tengah luka anak-anak kita.

Hentikan lingkaran itu di ruang kelas, sebelum tangan yang mestinya menulis masa depan justru terangkat untuk memukul masa depan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun