Frasa Latin amicus curiae berarti "sahabat pengadilan" --- pihak yang bukan partai dalam perkara, tetapi memiliki kepedulian atau keahlian, sehingga memberi pendapat kepada pengadilan.Â
Dalam praktik peradilan Indonesia, amicus curiae tidak secara eksplisit diatur dalam banyak undang-undang pidana; posisinya lebih sebagai instrumen pengembangan dari kewajiban hakim untuk menggali nilai keadilan dan fakta yang hidup di masyarakat.Â
Beberapa dasar hukum yang sering dirujuk:
- Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman --- hakim wajib menggali nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakatÂ
- Pasal 14 Peraturan MK 06/PMK/2005 --- pengakuan pihak terkait tidak langsung (ad informandum)Â
- Pasal 180 ayat (1) KUHAP --- hakim dapat meminta bahan baru atau keterangan dari pihak berkepentingan jika diperlukan untuk menjernihkan perkaraÂ
Dalam praktik, amicus curiae bersifat "pendapat tambahan", bukan alat bukti formal. Majelis hakim memiliki kebebasan penuh --- dapat mempertimbangkan, sebagian atau menolak pendapat amicus curiae --- tanpa kewajiban mengabulkannya.Â
Hukumonline mencatat: "Amicus curiae berfungsi untuk membantu hakim agar dapat adil dan bijaksana dalam memutus suatu perkara."Â
Jadi dalam teori: jaminan pluralitas perspektif, agar hakim tak hanya bergantung pada dalil para pihak, tetapi juga mendengar suara "luar" yang punya kompetensi.
Intervensi atau Keadilan? Batas Tipis yang Harus Dijaga
Kalau amicus curiae adalah "teman pengadilan", siapa yang menjadi sahabat? Apakah mereka benar-benar netral? Atau sekadar "spesialis pembelaan" di balik topeng publik?
Ketika mantan tokoh penegak hukum, pegiat antikorupsi, akademisi, dan aktivis ikut membela Nadiem --- ini memberi kesan kuat: mereka ikut "main politik hukum". Bisa diinterpretasikan sebagai dukungan moral dan argumentatif, tetapi di sisi lain bisa juga sebagai "intervensi kalem" ke proses hukum.
Penulis hukum menyoroti dua bahaya:
- Pengaruh sosial-politis: kehadiran nama-nama besar bisa mendistorsi persepsi bahwa kasus ini bukan sekadar soal hukum, melainkan perebutan reputasi.
- Preseden intervensi: jika setiap terdakwa penting dibela oleh tokoh masyarakat lewat amicus curiae, ruang netralitas pengadilan bisa terdesak.
Karena itu hakim harus berhati-hati. Putusan harus transparan alasan menerima/menolak masukan amicus curiae, bukan disembunyikan dalam jargon hukum. Jangan sampai muncul tuduhan kriminalisasi balik bahwa hakim memilih "teman" dalam kasus tertentu.