Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah berjalan. Dalam hitungan politik, setahun memang terlalu dini untuk menilai sebuah rezim secara menyeluruh. Namun, terlalu naif juga bila publik hanya menunggu tanpa berani mengukur sejauh mana janji-janji politik di atas panggung kampanye mulai diuji di jalanan kebijakan.
Pemerintahan ini datang dengan tema "Keberlanjutan" --- melanjutkan program-program yang diwariskan Presiden Joko Widodo, sekaligus menyuntikkan beberapa terobosan baru. Tetapi, seperti kata filsuf Denmark Sren Kierkegaard, "Hidup hanya bisa dipahami ke belakang, tapi harus dijalani ke depan." Maka, menengok ke belakang satu tahun ini adalah kewajiban, agar arah ke depan tidak salah pijak.
Keberhasilan yang Tercatat
Pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan II 2025 tercatat 5,12 persen (BPS, Agustus 2025). Angka ini sedikit di atas rata-rata global dan cukup meneguhkan stabilitas ekonomi domestik di tengah ketidakpastian global, mulai dari krisis pangan hingga gejolak geopolitik. Ekonom senior Chatib Basri menyebut capaian ini "cukup baik, meski belum istimewa," mengingat tekanan inflasi pangan yang masih menghantui.
Di sektor pangan, pemerintah mengklaim berhasil mencapai swasembada beras. Menteri Pertanian mengumumkan bahwa produksi padi 2025 naik sekitar 3 persen dibanding tahun sebelumnya, cukup untuk menutup kebutuhan dalam negeri. Bila klaim ini benar, capaian tersebut pantas diapresiasi, sebab swasembada beras selalu menjadi mimpi lama yang kerap berakhir dengan defisit.
Di sisi keberlanjutan, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) tetap berjalan. Meski kontroversial, pembangunan infrastruktur dasar seperti air bersih, jalan, dan kantor pemerintahan disebut mencapai 45 persen (data Kementerian PUPR, September 2025). Hilirisasi nikel dan bauksit juga terus dikampanyekan, meski manfaat langsung bagi masyarakat bawah belum terasa.
Program Unggulan: Antara Janji dan Realita
Di atas kertas, program unggulan Prabowo-Gibran terdengar manis. Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Garuda, Sekolah Rakyat, hingga Koperasi Merah Putih. Namun, implementasi tak selalu seindah visi.
Program MBG justru menuai kontroversi. Kasus keracunan ribuan siswa di Jawa Tengah dan Sulawesi pada awal September lalu memperlihatkan lemahnya kontrol mutu dan tata kelola. Alih-alih menjadi simbol perhatian negara terhadap gizi anak, program ini kini dipandang sebagian masyarakat sebagai proyek terburu-buru yang dipaksakan.