Krisis Palestina bukan sekadar persoalan geopolitik, melainkan krisis kemanusiaan. Derita panjang rakyat Palestina yang terjajah dan kehilangan hak-haknya, serta trauma masyarakat Israel akibat serangan bersenjata, telah menjadikan konflik ini seakan tanpa ujung.Â
Namun, dalam hiruk-pikuk suara yang lantang dari kelompok garis keras, ada suara lain yang sering terlupakan: suara moderat dari Palestina maupun Israel yang menyerukan perdamaian, keadilan, dan hidup berdampingan.
Fenomena terbaru yang patut dicatat adalah pernyataan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Sidang Umum PBB 2025. Dalam pidatonya, Abbas menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi Hamas di pemerintahan Palestina.Â
Ia mengkritik metode kekerasan Hamas dan menyerukan agar perjuangan Palestina diarahkan melalui diplomasi dan kelembagaan. Abbas menegaskan kembali bahwa perjuangan bangsanya bukanlah kebencian terhadap Yahudi, melainkan perjuangan bangsa untuk kemerdekaan dan keadilan.Â
Pernyataan ini mencerminkan keberanian seorang pemimpin moderat yang ingin memisahkan perjuangan nasional dari ekstremisme, sekaligus membuka jalan bagi dukungan internasional yang lebih luas.
Sayangnya, sikap Abbas ini jarang mendapat sorotan luas di media internasional. Padahal, inilah momen penting untuk menegaskan bahwa tidak semua pemimpin Palestina mendukung kekerasan atau terjebak dalam ideologi anti-Semitisme. Sebaliknya, ada tekad kuat untuk membangun jalan damai, meski jalannya penuh ranjau politik dan tantangan internal.
Sejarah Singkat yang Selalu Terulang
Untuk memahami persoalan ini, kita perlu menengok kembali sejarah panjang konflik Palestina-Israel.Â
Akar masalahnya bukanlah agama, melainkan perebutan tanah, identitas, dan hak berdaulat. Setelah Perang Dunia II, lahirlah Israel pada 1948 dengan dukungan negara-negara Barat, yang berakibat pada eksodus besar-besaran bangsa Palestina dari tanah mereka, peristiwa yang dikenal sebagai Nakba atau malapetaka. Sekitar 700.000 hingga 800.000 warga Palestina mengungsi pada saat itu.
Sejak saat itu, perang demi perang pecah: 1948, 1967 (Perang Enam Hari), 1973, hingga Intifada di dekade 1980-an dan 2000-an. Pada Perang Enam Hari (1967), Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai (meskipun Sinai kemudian dikembalikan ke Mesir).Â
Setiap kali ada peluang perdamaian, hampir selalu ada kelompok garis keras yang merusaknya. Yitzhak Rabin, Perdana Menteri Israel yang berani menandatangani Oslo Accords bersama Yasser Arafat pada 1993, justru dibunuh oleh ekstremis Israel pada tahun 1995.Â
Arafat sendiri sering dilemahkan oleh perpecahan internal Palestina, terutama dari kelompok Hamas yang menolak kompromi dengan Israel.
Sejarah menunjukkan, suara moderat memang pernah menjadi harapan, namun sayangnya nyaris selalu dibungkam oleh kebencian, kekerasan, dan kepentingan politik jangka pendek.
Moderasi Palestina: Antara Harapan dan Sunyi
Dalam politik Palestina, perpecahan nyata terlihat. Di satu sisi ada Hamas yang menguasai Gaza dengan pendekatan militeristik, menggunakan roket dan serangan sebagai "perlawanan".Â
Pada konflik 2024--2025 saja, diperkirakan puluhan ribu roket telah diluncurkan dari Gaza ke wilayah Israel, menyebabkan korban sipil dan kerusakan infrastruktur yang besar.Â
Data PBB menyebutkan bahwa selama konflik berkepanjangan, lebih dari 20.000 warga Palestina --- termasuk perempuan dan anak-anak --- kehilangan nyawa, sementara puluhan ribu lainnya mengalami cedera.
Di sisi lain ada Otoritas Palestina di Tepi Barat yang dipimpin Abbas, dengan sikap yang lebih diplomatis dan mengedepankan pengakuan internasional.Â
Langkah Abbas di PBB yang menolak Hamas adalah upaya mempertegas garis moderat Palestina: bahwa perjuangan bangsa ini bukanlah kebencian terhadap Yahudi, tetapi tuntutan kemerdekaan dan keadilan.Â
Pernyataan ini sejalan dengan pandangan sebagian besar masyarakat Palestina yang lelah berperang dan lebih menginginkan pengakuan negara serta pembangunan ekonomi.
Sayangnya, suara moderat ini sering kalah gaung dibandingkan propaganda keras. Dunia lebih banyak mendengar roket yang diluncurkan Hamas atau serangan balasan Israel, daripada pidato panjang seorang Abbas yang menolak kekerasan.
Israel Juga Punya Suara Moderat
Di Israel pun, sebenarnya ada suara-suara kritis yang menentang kebijakan keras pemerintahnya. Dalam survei terbaru, sekitar 30-40 persen warga Israel menyatakan tidak setuju dengan strategi militer berlebihan di Gaza atau perluasan pemukiman di Tepi Barat.Â
Ribuan warga Israel dalam beberapa tahun terakhir turun ke jalan menentang kebijakan militer berlebihan di Gaza. Mereka bukan membela Hamas, melainkan menolak kebijakan yang menjerumuskan kedua bangsa dalam lingkaran dendam.
Suara moderat Israel ini sering dianggap "pengkhianat" oleh kaum nasionalis konservatif, sama halnya dengan Abbas yang dianggap "lemah" oleh kelompok garis keras Palestina. Namun justru di sinilah letak harapan: masih ada rakyat dari kedua pihak yang ingin melawan arus kebencian.
Konflik yang Bukan Perang Agama
Kesalahpahaman terbesar tentang Palestina-Israel adalah memandangnya sebagai perang antara Islam dan Yahudi. Pandangan ini keliru dan berbahaya. Konflik ini sejatinya adalah persoalan bangsa, tanah, dan hak berdaulat.
Ketika dunia terjebak dalam narasi agama, jalan tengah semakin sempit. Padahal, baik Islam, Yahudi, maupun Kristen memiliki ajaran yang menekankan kasih sayang dan keadilan. Seperti kata filsuf Yahudi Martin Buber: "Peace is not a dream; it is hard work, and there is nothing naive about it."Â
Begitu pula pepatah Arab mengingatkan: "Man lam yadzhlim, la yudhlam" --- siapa yang tidak menzalimi, tidak akan dizalimi.
Jalan Damai yang Terlupakan
Pernyataan Abbas di PBB mestinya menjadi momentum bagi dunia internasional untuk mendukung suara moderat Palestina. Demikian pula, masyarakat sipil Israel yang berani menentang kebijakan diskriminatif perlu mendapat dukungan.Â
Perdamaian tidak akan lahir dari kelompok garis keras yang hanya mengandalkan kekerasan, melainkan dari mereka yang berani melawan kebencian dengan dialog dan keadilan.
Menurut data diplomatik terbaru, lebih dari 140 negara telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka (per 2024). Pengakuan ini semakin menyiratkan bahwa sikap politik dunia sedang bergeser --- negara-negara yang dahulu menahan pengakuan kini mulai membuka diri. Namun pengakuan diplomatik saja tidak cukup; suara moderat dan inisiatif perdamaian harus disertakan dalam realpolitik.
Masalah Palestina bukan hanya tanggung jawab Palestina atau Israel, melainkan tanggung jawab moral dunia. Dunia yang mendukung Ukraina dengan penuh solidaritas seharusnya juga bersuara sama keras untuk Palestina. Sebab, sebagaimana pernah dikatakan Nelson Mandela: "Our freedom is incomplete without the freedom of the Palestinians."
Akhir KataÂ
Pertikaian Israel-Palestina tidak boleh dipersempit sebagai konflik agama. Ini adalah persoalan kemanusiaan: hak suatu bangsa untuk merdeka, hak manusia untuk hidup dengan martabat, dan hak generasi muda untuk tumbuh tanpa trauma perang.
Suara moderat dari Palestina dan Israel harus lebih diperkuat, diberi panggung, dan dijadikan rujukan. Jika tidak, kita hanya akan terus mendengar gema roket dan bom, sementara kata-kata damai terkubur dalam sunyi.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI