Mereka melihat Prabowo membawa energi baru bagi diplomasi global. DPR melalui BKSAP menilai pidato itu memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional, terutama dalam isu reformasi hak veto.
Namun, kritik tak terhindarkan. Sebagian masyarakat menilai gaya penyampaiannya kurang diplomatis, terutama pada isu Israel. Janji-janji besar di panggung dunia juga sering dipertanyakan: mampukah benar-benar diwujudkan dalam kebijakan nyata?Â
Gangguan teknis saat mikrofon mati ketika Prabowo menyampaikan kesiapan Indonesia mengirim pasukan penjaga perdamaian turut mencuri perhatian, membuat pesan yang seharusnya kuat menjadi kurang mengena.
Peluang dan Keterbatasan
Meski demikian, pidato ini membuka peluang besar. Dengan sikap tegas terhadap isu Palestina maupun reformasi PBB, Indonesia berpotensi membangun koalisi dengan negara-negara yang selama ini merasa terpinggirkan.Â
Namun, potensi itu tetap dibatasi oleh realitas praktis. Reformasi PBB bukan pekerjaan satu negara, melainkan pertarungan panjang dengan kekuatan besar yang selama ini menikmati status quo.Â
Aspirasi besar juga harus berhadapan dengan keterbatasan domestik: anggaran, birokrasi, serta tekanan publik dalam negeri.
Filosofi Diplomasi dan Kemanusiaan
Pidato di PBB ini sejalan dengan filosofi diplomasi yang sering diungkapkan: "Diplomasi adalah seni membiarkan orang lain memiliki apa yang kita inginkan."Â
Kata-kata ini menekankan bahwa diplomasi bukan hanya soal retorika, melainkan seni memperjuangkan kepentingan dengan tetap memberi ruang bagi pihak lain.Â
Filsuf Cornel West bahkan menyebut, "Justice is what love looks like in public"---keadilan adalah wujud cinta dalam ranah publik.Â