Mari kita tepuk tangan dulu, Saudara-saudara. Akhirnya ada juga anggota DPR yang dipecat setelah membuat rakyat naik pitam.Â
Ya, walau agak telat, tapi lumayanlah---seperti ambulan yang baru datang setelah pasien keburu dimakamkan.
Kita tentu masih ingat, demontrasi besar-besaran kemarin bukan muncul tiba-tiba seperti hujan dadakan di Jakarta.Â
Ada pemicunya. Beberapa anggota DPR---yang katanya "wakil rakyat"---membuka mulut terlalu lebar, melempar pernyataan seenaknya, seolah-olah rakyat hanya dekorasi dalam panggung politik mereka.Â
Dari ucapan yang merendahkan, sampai komentar yang menyakitkan, lengkaplah sudah bahan bakar untuk menyalakan api. Dan, seperti biasa, rakyatlah yang terbakar, bukan mereka.
Awalnya demonstrasi itu punya slogan manis: "Bubarkan DPR!" Tapi entah bagaimana, aroma bensin bercampur amarah membuat segalanya berubah: gedung terbakar, rumah dijarah, toko hancur, dan seorang pengemudi ojek online meregang nyawa setelah ditabrak mobil taktis polisi.Â
Negeri ini, yang katanya demokrasi, tiba-tiba seperti arena gladiator---darah, api, dan ratapan.
Nah, setelah semua drama ini, partai tempat para anggota DPR "oknum" itu bernaung akhirnya mengambil langkah heroik: mereka dipecat. Hore! Selesai masalah. Atau... benar begitu?
Jujur saja, pemecatan itu lebih mirip gesture politik ketimbang pertanggungjawaban. Ibarat orang menutup jendela saat rumahnya terbakar: ada gerakan, tapi tak menyelesaikan apa-apa.Â
Para anggota DPR yang dipecat itu memang salah, tapi mereka bukan satu-satunya masalah. Mereka hanya puncak gunung es, sementara gunungnya masih utuh: budaya politik yang gemar foya-foya, asyik dengan fasilitas, dan gemar menyakiti rakyat dengan kata-kata dan kebijakan.
Maka pertanyaannya: apakah cukup hanya dengan memecat segelintir orang? Tentu tidak. Publik tidak bodoh. Rakyat tidak menuntut "pengorbanan kambing hitam," melainkan perubahan sikap.Â