Di tengah riuh rendah demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan, suara paling jernih justru datang dari seorang ayah yang baru saja kehilangan anaknya. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas setelah ditabrak mobil taktis polisi saat hendak mengantar pesanan. Ia bukan demonstran, bukan provokator, hanya rakyat kecil yang sedang mencari nafkah. Namun ajal menjemputnya di jalan, di tengah situasi yang bukan ia pilih.Ayah Affan, dengan suara bergetar menahan duka, menyampaikan pesan yang sungguh menyejukkan: "Cukup anak saya yang jadi korban. Saya berharap semua pihak menahan diri. Saya percaya pada proses hukum yang sedang berjalan."
Kalimat ini, meski sederhana, sebetulnya adalah pernyataan yang penuh kebijaksanaan. Dari seorang ayah yang kehilangan tulang punggung keluarga, kita mendengar seruan untuk damai, bukan amarah. Padahal, sangat manusiawi bila ia memilih meluapkan dendam, menyalahkan aparat, atau menuding para pengunjuk rasa. Tetapi yang lahir justru kata-kata yang mengandung makna mendalam: hentikan lingkaran kekerasan.
Kebesaran Jiwa di Tengah Luka
Apa yang dilakukan ayah Affan mengingatkan kita pada kutipan filsuf Yunani, Epictetus: "Bukan apa yang menimpa kita yang menentukan hidup, melainkan bagaimana kita meresponsnya."
Respons beliau adalah bukti nyata kebesaran jiwa. Dalam luka yang masih basah, ia memilih kepercayaan pada hukum, bukan main hakim sendiri.
Tentu, kita tahu di balik kata-kata itu masih ada duka, bahkan mungkin amarah yang tak terucapkan. Namun keberanian menahan diri justru menjadikannya teladan. Pesan itu seperti rem moral di tengah derasnya arus provokasi yang ingin mengubah kematian Affan menjadi bahan bakar politik.
Korban yang Sering Terlupakan
Affan bukan korban pertama. Dalam berbagai peristiwa politik jalanan, rakyat kecil kerap menjadi tumbal. Di Makassar, kebakaran gedung DPRD juga telah menewaskan tiga orang yang terjebak api, padahal mereka bukan bagian dari lingkaran elite politik. Di Jakarta, dalam kerusuhan 1998 hingga 2019, selalu ada korban jiwa yang tak pernah benar-benar mendapat keadilan tuntas.
Pertanyaannya: siapa yang sebenarnya menanggung beban? Bukan provokator yang bersembunyi di balik massa. Bukan elite politik yang memanfaatkan momentum. Justru rakyat kecil, yang hanya ingin hidup tenang, bekerja, dan menghidupi keluarganya.
Antara Perjuangan dan Kebijakan
Kemarahan massa memang kerap lahir dari ketidakadilan. Namun tanpa kendali, ia bisa berubah menjadi kebrutalan. Sejarah mengajarkan: setiap perjuangan yang dilandasi dendam cenderung berakhir dengan korban baru, bukan solusi.
Ayah Affan mengingatkan kita, perjuangan tetap perlu, tapi harus dibingkai dengan kebijakan dan kesabaran. Martin Luther King Jr. pernah berkata: "Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan; hanya cahaya yang bisa melakukannya. Kebencian tidak bisa mengusir kebencian; hanya cinta yang bisa melakukannya."
Kalimat itu kini terasa nyata. Karena kebencian hanya akan melahirkan korban berikutnya.