Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Abu-Abunya "Buku Putih" Roy Suryo Cs

19 Agustus 2025   13:28 Diperbarui: 19 Agustus 2025   13:28 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peluncuran buku putih Jokowi (IDN Times)

Dalam sejarah politik Indonesia, istilah buku putih biasanya identik dengan dokumen resmi. Sebuah laporan otoritatif, rapi, dan sahih dari lembaga berwenang yang berfungsi sebagai penjelasan negara atas sebuah peristiwa besar. 

Contohnya, White Paper yang dikeluarkan pemerintah di banyak negara sebagai dokumen resmi untuk menjawab keraguan publik.

Namun, tiba-tiba publik dikejutkan dengan peluncuran sebuah "Buku Putih" oleh Roy Suryo cs---sebuah kelompok yang kini sedang berhadapan dengan hukum. 

Isinya? Tuduhan lama, basi, dan berulang tentang ijazah Presiden Joko Widodo. Pertanyaannya: benarkah ini buku putih? Atau sekadar catatan pinggir yang dicetak tebal, diberi cover, lalu dipoles dengan istilah yang terdengar gagah?

Antara Buku Putih dan Buku Abu-Abu

Buku putih sejatinya adalah dokumen yang menyajikan kebenaran berdasarkan fakta dan otoritas resmi. Tetapi dalam kasus ini, kita menghadapi sebuah paradoks: yang disebut "Buku Putih" justru ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas, tidak punya kapasitas akademik formal untuk menguji keaslian ijazah, dan ironisnya, sedang menjadi tersangka kasus serupa.

Sebaliknya, pihak yang justru berwenang---Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai almamater resmi Presiden Jokowi---sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jokowi memang alumnus UGM dan ijazahnya asli. Pernyataan serupa juga datang dari Bareskrim Polri. Jika dua institusi paling sahih ini sudah berbicara, apa lagi yang perlu diperdebatkan?

Mengutip pepatah Latin "Veritas vos liberabit"---kebenaran akan membebaskanmu. Sayangnya, dalam kasus Roy Suryo cs, yang tampak adalah kebebasan bermain kata, bukan kebebasan oleh kebenaran.

Permainan Retorika: Dari Putih Jadi Kelabu

Ada satu hal yang mencolok dari publikasi ini: permainan istilah. Dengan menyebutnya buku putih, Roy Suryo cs seolah ingin mengesankan bahwa apa yang mereka tulis adalah "kebenaran murni". Padahal, jika diperiksa secara objektif, ini lebih cocok disebut buku abu-abu: penuh asumsi, minim legitimasi.

Lucunya, mereka justru berhadapan dengan risiko hukum yang lebih besar. Pasalnya, ketika tuduhan yang sama ditulis dalam bentuk buku, lengkap dengan klaim sebagai "buku putih", maka ini bisa dianggap sebagai penyebaran fitnah yang sistematis dan terencana. Artinya, bukannya meringankan posisi mereka, justru bisa memperberat tuduhan.

Di sini, publik bisa belajar satu hal: bermain istilah tanpa dasar hukum ibarat bermain api di gudang bensin.

Pertanyaan Publik: Untuk Apa Sebenarnya Buku Ini?

Motif di balik penerbitan buku ini pun dipertanyakan publik. Apakah ini sekadar manuver politik murahan? Atau strategi untuk mencari panggung di tengah badai hukum yang sedang menjerat mereka?

Publik tentu masih ingat, isu ijazah palsu Jokowi bukan barang baru. Ia sudah berkali-kali diuji di ruang publik, dan berkali-kali pula diklarifikasi oleh pihak berwenang. Namun, tetap saja ada segelintir orang yang menggenggam isu basi ini seolah menemukan harta karun.

Filsuf Prancis Voltaire pernah berkata: "Those who can make you believe absurdities can make you commit atrocities." Mereka yang mampu membuatmu percaya pada hal-hal absurd, bisa pula menyeretmu pada tindakan konyol. Apakah buku putih ini salah satu bentuk absurditas yang dipoles dengan sampul?

Konsekuensi Hukum yang Tak Terelakkan

Dari kacamata hukum, penerbitan buku ini justru dapat menjadi bumerang. Karena ia bukan lagi sekadar cuitan di media sosial atau pernyataan lisan yang bisa diperdebatkan, melainkan sebuah dokumen tertulis yang dipublikasikan secara sadar dan luas.

Dalam logika hukum, semakin sistematis penyebaran tuduhan bohong, semakin besar pula tanggung jawab pidana yang melekat. "Buku putih" ini bisa saja menjadi bukti sahih di pengadilan bahwa Roy Suryo cs bukan sekadar terselip lidah, melainkan memang merancang dan menyebarkan kabar bohong.

Dengan kata lain, alih-alih menjadi white paper yang mencerahkan publik, ia lebih berpotensi menjadi black evidence di persidangan.

Dari Polemik ke Edukasi Publik

Kasus ini semestinya menjadi cermin bagi publik untuk membedakan mana informasi yang sahih dan mana yang sekadar opini. "Buku putih" bukan soal sampul, melainkan soal isi yang diverifikasi oleh otoritas resmi.

UGM sudah bicara. Polisi sudah memastikan. Maka publik seharusnya tidak lagi terjebak dalam permainan istilah yang menyesatkan.

Mengutip Bung Hatta, "Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin di desa." Kebenaran pun demikian: ia tak perlu gemerlap istilah yang bombastis. Cukup sederhana, sahih, dan datang dari sumber yang tepat.

Dan jika ada pihak yang terus-menerus meniupkan kebohongan, mari kita biarkan hukum bekerja. Karena sejarah selalu mencatat: kebenaran mungkin berjalan tertatih, tapi ia tak pernah mati.***MG

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun