Di sini, publik bisa belajar satu hal: bermain istilah tanpa dasar hukum ibarat bermain api di gudang bensin.
Pertanyaan Publik: Untuk Apa Sebenarnya Buku Ini?
Motif di balik penerbitan buku ini pun dipertanyakan publik. Apakah ini sekadar manuver politik murahan? Atau strategi untuk mencari panggung di tengah badai hukum yang sedang menjerat mereka?
Publik tentu masih ingat, isu ijazah palsu Jokowi bukan barang baru. Ia sudah berkali-kali diuji di ruang publik, dan berkali-kali pula diklarifikasi oleh pihak berwenang. Namun, tetap saja ada segelintir orang yang menggenggam isu basi ini seolah menemukan harta karun.
Filsuf Prancis Voltaire pernah berkata: "Those who can make you believe absurdities can make you commit atrocities." Mereka yang mampu membuatmu percaya pada hal-hal absurd, bisa pula menyeretmu pada tindakan konyol. Apakah buku putih ini salah satu bentuk absurditas yang dipoles dengan sampul?
Konsekuensi Hukum yang Tak Terelakkan
Dari kacamata hukum, penerbitan buku ini justru dapat menjadi bumerang. Karena ia bukan lagi sekadar cuitan di media sosial atau pernyataan lisan yang bisa diperdebatkan, melainkan sebuah dokumen tertulis yang dipublikasikan secara sadar dan luas.
Dalam logika hukum, semakin sistematis penyebaran tuduhan bohong, semakin besar pula tanggung jawab pidana yang melekat. "Buku putih" ini bisa saja menjadi bukti sahih di pengadilan bahwa Roy Suryo cs bukan sekadar terselip lidah, melainkan memang merancang dan menyebarkan kabar bohong.
Dengan kata lain, alih-alih menjadi white paper yang mencerahkan publik, ia lebih berpotensi menjadi black evidence di persidangan.
Dari Polemik ke Edukasi Publik
Kasus ini semestinya menjadi cermin bagi publik untuk membedakan mana informasi yang sahih dan mana yang sekadar opini. "Buku putih" bukan soal sampul, melainkan soal isi yang diverifikasi oleh otoritas resmi.
UGM sudah bicara. Polisi sudah memastikan. Maka publik seharusnya tidak lagi terjebak dalam permainan istilah yang menyesatkan.
Mengutip Bung Hatta, "Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin di desa." Kebenaran pun demikian: ia tak perlu gemerlap istilah yang bombastis. Cukup sederhana, sahih, dan datang dari sumber yang tepat.