Namun, ketika asap menyelimuti kota, jari telunjuk publik justru mengarah ke mereka---mereka yang hanya membakar lahan seluas lapangan sepak bola untuk memberi makan keluarga.
---
Kebijakan Pukul Rata dan Risiko Kriminalisasi
Larangan total membakar lahan tanpa membedakan pelaku dan skala justru menciptakan kriminalisasi. Kita pernah melihatnya di awal 2000-an, saat ratusan peladang ditangkap karena "membakar lahan", padahal yang mereka lakukan adalah tradisi yang diakui Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memberi pengecualian bagi pembukaan lahan skala kecil berbasis kearifan lokal.
Tahun 2019, yang disebut sebagai "tahun terkelam bagi peladang tradisional" di Kalimantan Tengah, tercatat 35 peladang ditangkap hanya di provinsi itu. Selama satu dekade terakhir, ratusan peladang di berbagai daerah Kalimantan mengalami hal serupa.Â
Data mencatat bahwa dari 161 kasus karhutla perorangan, 121 orang ditetapkan tersangka, sementara dari 20 kasus korporasi, hanya dua perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka.Â
Di Sintang, Kalbar, kasus serupa bahkan memicu aksi massa dan gerakan #PeladangBukanPenjahat, sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma dan ketidakadilan.
Alternatif yang diusulkan pemerintah, seperti penggunaan alat berat atau metode tanpa bakar, terdengar modern tetapi jauh dari realitas desa. Biayanya mahal, hasilnya tidak selalu memuaskan, dan petani tetap harus membeli pupuk kimia---sesuatu yang justru dihindari dalam sistem perladangan tradisional yang memanfaatkan abu sebagai pupuk organik alami.
---
Akar Masalah: Gambut dan Perkebunan Besar
Kebijakan mencabut Perda ini berpotensi menutupi akar masalah sebenarnya: lemahnya pencegahan di lahan gambut dan minimnya penegakan hukum terhadap perusahaan besar yang membuka lahan dengan cara bakar. Dalam banyak kasus, investigasi hanya menyentuh pekerja lapangan, sementara pemilik perusahaan tetap duduk manis di kantor ber-AC.