Presiden Prabowo Subianto, lewat pernyataan juru bicara istana membantah tudingan bahwa ia melakukan intervensi hukum dalam pemberian abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Istana menyatakan bahwa keputusan itu semata demi "rekonsiliasi nasional" dan tidak bermotif politik.Â
Tapi pertanyaannya: benarkah begitu?
Narasi ini patut diuji. Karena faktanya, kedua tokoh yang diampuni adalah figur penting di kubu lawan politik Prabowo, yakni PDIP dan Anies Baswedan. Dan setelah pemberian abolisi dan amnesti itu, kedua kekuatan tersebut tiba-tiba berubah sikap: mendekat dan menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Prabowo.
Jika ini bukan intervensi, lalu apa?
---
Abolisi dan Amnesti: Hak Presiden yang Sarat Risiko
Secara konstitusi, Presiden memang memiliki hak untuk memberikan abolisi dan amnesti berdasarkan Pasal 14 UUD 1945. Tapi hak ini bukan kartu bebas intervensi hukum. Presiden tetap wajib mempertimbangkan keadilan, transparansi, dan dampak jangka panjang terhadap supremasi hukum.
Kasus Thomas Lembong menyangkut dugaan korupsi dalam pengelolaan aset negara. Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, ditetapkan sebagai tersangka obstruction of justice dalam kasus buron Harun Masiku. Belum ada proses hukum tuntas. Tapi keduanya sudah diampuni.
Jika keputusan ini didasari pada semangat keadilan, mengapa hanya mereka yang diampuni? Apakah karena mereka punya nilai tukar politik yang tinggi? Atau karena ini bagian dari konsolidasi kekuasaan?
---
Barter Politik di Balik Ampunan
Paska pemberian abolisi dan amnesti, Megawati langsung menyatakan bahwa PDIP akan mendukung pemerintahan Prabowo. Petinggi PDIP menyebut langkah Prabowo sebagai "langkah besar rekonsiliasi". Sementara kubu Anies, melalui elite Koalisi Perubahan, juga menyampaikan ucapan terima kasih dan sinyal kerja sama.
Fakta-fakta ini terlalu terang untuk diabaikan. Ada pola yang terbaca: kasus hukum dipangkas demi mendapatkan dukungan politik.