Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jika Ijazah Jokowi Ditunjukkan Bisa terjadi "Chaos", Apa Maksudnya?

17 Juni 2025   08:06 Diperbarui: 17 Juni 2025   08:06 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengacara Jokowi Yakub Hasibuan (detik.com)

"Keadilan tanpa kekuatan adalah tidak berdaya, kekuatan tanpa keadilan adalah tirani." -- Blaise Pascal.

Meski masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia telah berakhir pada 20 Oktober 2024, Joko Widodo---mantan presiden dua periode---masih terus menjadi sorotan publik. Salah satu isu yang belum juga reda adalah tudingan lama tentang keaslian ijazah yang ia gunakan untuk mencalonkan diri sebagai wali kota, gubernur, hingga presiden.

Lebih dari satu dekade mengabdi di tampuk kekuasaan tertinggi, Jokowi tetap harus menghadapi tuntutan sebagian pihak yang meminta dirinya menunjukkan ijazah asli secara langsung ke publik, meskipun Bareskrim Polri telah menegaskan bahwa dokumen tersebut asli berdasarkan uji forensik.

Dalam tanggapannya, Jokowi menegaskan bahwa ia bersedia menunjukkan ijazah tersebut jika diminta oleh penegak hukum atau dalam forum peradilan resmi. Kuasa hukumnya bahkan memperingatkan bahwa apabila ijazah itu ditunjukkan tanpa dasar hukum yang jelas, hal itu justru bisa menyebabkan "chaos". Apa sebenarnya makna dari "chaos" yang dimaksud?

Chaos: Ketika Hukum Dibalik dan Keadilan Goyah

Dalam dunia hukum, ada asas fundamental yang tidak bisa ditawar: "Barang siapa yang menuduh, dia yang harus membuktikan." Prinsip ini merupakan turunan dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:

"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan ke pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap."

Jika prinsip ini diabaikan, dan si tertuduh---dalam hal ini mantan Presiden Jokowi---dipaksa membuktikan bahwa ia tidak bersalah tanpa adanya proses hukum formal, maka sistem keadilan bisa rusak. Siapa pun bisa dituduh, dan korban harus menanggung beban pembuktian atas hal yang belum tentu benar. Inilah "chaos" dalam tatanan hukum, seperti yang dikhawatirkan oleh kuasa hukum Jokowi.

Preseden yang Berbahaya

Apa jadinya jika pola pikir seperti ini dilegalkan secara sosial? Maka siapa pun bisa dengan mudah menuduh seorang pejabat, akademisi, atau warga biasa melakukan pemalsuan atau pelanggaran lain, tanpa harus membawa bukti. Jika korban tuduhan harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah tanpa proses hukum, maka hukum tidak lagi menjadi penjaga keadilan, melainkan senjata kekuasaan opini liar.

Sebagaimana dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, "Hukum tidak boleh tunduk pada opini, apalagi opini yang tidak didasarkan pada fakta." Maka dari itu, permintaan agar mantan presiden menunjukkan ijazahnya secara terbuka tanpa jalur hukum merupakan tuntutan yang keliru secara prinsip dan berbahaya bagi semua warga negara.

Bukti Seperti Apa yang Dimiliki Para Penuduh?

Fakta lapangan menunjukkan bahwa hingga kini, para penuduh belum pernah memegang ijazah asli Jokowi. Klaim mereka sebatas pada analisis foto yang beredar di media sosial, sesuatu yang sangat mudah dimanipulasi secara digital. Padahal dalam praktik hukum forensik, verifikasi keaslian dokumen hanya bisa dilakukan terhadap dokumen fisik asli, bukan salinan atau hasil tangkapan layar.

"Foto tidak bisa dijadikan bukti sah kecuali bisa dibuktikan bahwa itu adalah salinan otentik dari sumber aslinya," ujar Dr. Rina Budhiarti, ahli forensik dokumen. Maka, permintaan untuk memverifikasi sesuatu yang bahkan tidak mereka miliki aslinya menjadi tidak rasional.

Mantan Presiden dalam Sorotan: Antara Etika dan Kepentingan

Sebagai mantan presiden, Jokowi memikul beban yang jauh lebih besar dari sekadar membela diri. Segala tindakan dan sikapnya akan menjadi preseden dan rujukan moral bagi generasi pemimpin setelahnya. Oleh karena itu, wajar bila ia memilih jalur hukum ketimbang membuka dokumen secara sembarangan---bukan karena ada yang disembunyikan, tapi karena ada prinsip yang dijaga.

Seperti yang dikatakan oleh filsuf Immanuel Kant,

"Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip tindakannya dapat dijadikan hukum universal."
Dalam hal ini, prinsip "penuduh yang wajib membuktikan" adalah dasar dari semua hukum yang adil dan rasional.

Mencari Kebenaran atau Memburu Sensasi?

Masyarakat perlu bertanya: apakah kita benar-benar sedang mencari kebenaran, atau sedang memburu pembenaran untuk tujuan politik, kebencian, atau kepuasan personal? Di tengah era post-truth seperti saat ini, persepsi seringkali lebih kuat dari fakta, dan opini bisa menjadi alat penghancur reputasi.

Jika kasus ijazah ini dibiarkan berlarut tanpa penyelesaian hukum, maka bukan hanya Jokowi yang dirugikan, tapi juga integritas sistem hukum kita. Lebih-lebih, hal ini bisa menjadi boomerang bagi siapapun di masa depan---tak peduli mereka berada di pihak mana hari ini.

Demokrasi Butuh Keadilan, Bukan Fitnah

Demokrasi tanpa etika akan menjadi ladang subur bagi fitnah dan pembunuhan karakter. Bila masyarakat terbiasa menuduh tanpa beban pembuktian, maka keadilan tidak akan lahir, yang ada hanyalah keributan yang tak berkesudahan.

Kita tentu boleh mengkritik mantan presiden, menilai masa jabatannya, bahkan mengajukan gugatan bila perlu. Namun, mencari kebenaran harus dijalankan dalam koridor hukum, bukan melalui tekanan publik atau tuntutan sepihak yang inkonstitusional.

Seperti pesan bijak dari Aristoteles:

"At the intersection of law and justice, lies the virtue of reason."

Semoga kita bisa memilih jalan akal sehat dan keadilan, bukan keramaian yang menyesatkan.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun