"Sejarah bukan untuk disenangkan, tapi untuk dikenang, dipelajari, dan jika perlu---disesali."---Yuval Noah Harari, sejarawan dan penulis buku Sapiens
Penulisan ulang sejarah kembali menjadi polemik. Kali ini, pusat perdebatan adalah pernyataan kontroversial dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyebut bahwa penulisan sejarah ke depan akan menggunakan pendekatan "tone positif." Ia menyampaikan hal ini sebagai respons atas kritik publik terhadap rencana pemerintah menulis ulang sejumlah bagian sejarah Indonesia, terutama periode-periode kelam seperti 1965, Orde Baru, dan konflik horizontal di berbagai daerah.
Namun, apa sebenarnya maksud dari "tone positif" yang dimaksud Fadli Zon? Apakah ini sekadar pendekatan naratif yang lebih bersahabat, ataukah ini merupakan upaya sistematis untuk memoles sejarah agar lebih cocok dengan narasi kekuasaan?
Jawabannya perlu dikaji dengan hati-hati, karena menyangkut bukan hanya memori kolektif bangsa, tapi juga kejujuran kita terhadap masa lalu.
Tone Positif: Upaya Meredam atau Membungkam?
Dalam salah satu wawancaranya, Fadli Zon menyatakan bahwa penulisan sejarah Indonesia tidak seharusnya bersifat "membuka luka lama" atau "menceritakan konflik secara vulgar." Ia menginginkan sejarah yang bersifat membangun, menyatukan bangsa, dan tidak memecah belah. Karena itu, narasi "positif" menjadi pendekatan yang ia dorong dalam penyusunan ulang kurikulum dan dokumen sejarah nasional.
Masalahnya, ketika sejarah dipilih dan disunting agar "tidak menyakiti," maka apa yang dihasilkan bukanlah sejarah, melainkan propaganda.
Menurut ahli sejarah Inggris, E.H. Carr dalam bukunya What is History?, "Sejarah adalah interpretasi yang terus berkembang, tetapi ia harus berbasis pada fakta." Artinya, sejarah memang bukan sekadar daftar kronologis, tapi harus jujur terhadap kenyataan---tidak ditutup-tutupi, apalagi dikaburkan demi kenyamanan politik.
Sejarah Bukan Alat Kekuasaan
Pernyataan Fadli Zon seakan menghidupkan kembali praktik Orde Baru, di mana sejarah ditulis untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan. Tragedi 1965-66, misalnya, selama bertahun-tahun hanya ditulis dari perspektif negara: bahwa "pembersihan" terhadap mereka yang dianggap PKI adalah langkah penyelamatan bangsa.
Padahal data dari Komnas HAM (2008) menyebutkan bahwa lebih dari 500.000 orang dibunuh, jutaan lainnya dipenjara tanpa proses hukum, dan hingga kini belum ada pengadilan HAM yang mengadili kejahatan tersebut.
Kita tentu ingin sejarah yang membangun. Tapi membangun tanpa kejujuran adalah seperti membangun rumah di atas pasir: rapuh dan tidak tahan guncangan.
Suara Korban Harus Didengar
Penulisan sejarah sejatinya adalah penulisan ulang terus-menerus. Bukan untuk mengganti fakta, melainkan untuk memberi ruang bagi suara-suara yang sebelumnya dibungkam. Dalam konteks Indonesia, ini termasuk korban kekerasan politik, etnis minoritas, perempuan korban konflik, dan kelompok adat yang dirampas tanahnya.
Sejarah yang jujur harus memberi ruang bagi mereka. Seperti kata Milan Kundera, "Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa."
Pelajaran dari Jerman dan Afrika Selatan
Beberapa negara menunjukkan bagaimana sejarah yang pahit justru menjadi fondasi untuk rekonsiliasi dan kemajuan:
Jerman secara terbuka mengakui dan mengajarkan kejahatan Nazi. Mereka tidak menggunakan "tone positif" untuk membingkai peristiwa Holocaust, melainkan mengembangkan museum, monumen, dan kurikulum sekolah yang menjelaskan tragedi ini secara detail, faktual, dan tanpa glorifikasi. Bahkan, pengingkaran terhadap Holocaust dianggap sebagai tindak pidana.
Afrika Selatan pasca-Apartheid membentuk Truth and Reconciliation Commission (TRC), yang memberi ruang bagi pelaku dan korban untuk bersuara. Sejarah apartheid tidak disamarkan demi harmoni, tetapi justru diangkat sebagai bagian penting dari penyembuhan nasional.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Alih-alih memaksakan "tone positif," pemerintah seharusnya:
- Membuka akses terhadap arsip sejarah, termasuk yang selama ini dikunci atas nama keamanan nasional.
- Mendukung riset sejarah independen, bukan hanya yang dikendalikan institusi pemerintah.
- Memberi ruang kepada korban dan keluarganya untuk menyampaikan narasi mereka.
- Melibatkan berbagai kalangan --- sejarawan, budayawan, aktivis HAM, dan masyarakat sipil --- dalam setiap proses penulisan sejarah.
- Menolak glorifikasi dan nasionalisme sempit yang menutup-nutupi fakta.
Sikap yang Diharapkan dari Fadli Zon
Sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon seharusnya bukan menjadi penjaga narasi kekuasaan, melainkan penjaga integritas sejarah. Ia harus menyadari bahwa kebudayaan tidak dibangun dari kebohongan, melainkan dari keberanian melihat diri sendiri---termasuk bagian-bagian tergelapnya.
Mendengarkan korban, mencatat kejahatan negara, dan menciptakan narasi yang adil adalah bagian dari tanggung jawab moralnya. Jika ia bersikeras pada "tone positif" sebagai semacam kosmetik sejarah, maka ia sedang mengkhianati etika dasar profesi sejarawan.
Kejujuran adalah Pilar Bangsa yang Kuat
Menulis sejarah bukan soal nyaman atau tidak. Ini adalah soal etika dan tanggung jawab. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutupi luka lamanya, melainkan yang berani mengobatinya dengan kebenaran.
Dalam hal ini, pendekatan "tone positif" bukan hanya keliru secara akademik, tapi juga membahayakan secara moral. Ia menyingkirkan suara korban, menutupi kejahatan, dan memperpanjang luka.
"Sejarah yang dipoles adalah sejarah yang tidak menyembuhkan," kata sejarawan Pramoedya Ananta Toer, yang juga menjadi korban Orde Baru.
Kini saatnya kita bertanya: Apakah kita ingin menyembuhkan, atau terus menyimpan borok di bawah karpet?***MG
Referensi:
- Komnas HAM (2008). Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat 1965-1966.
- E.H. Carr (1961). What is History?
- Yuval Noah Harari (2014). Sapiens: A Brief History of Humankind.
- TRC Final Report, South Africa (1998).
- Bundeszentrale fr politische Bildung (Federal Agency for Civic Education, Germany).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI